Romo Mudji Sutrisno berpulang. Sosok 71 tahu nyang menggambarkan kerendah hatian seorang begawan.
Kabar duka datang kala Romo Prof. Dr. Fransiskus Xaverius Mudji Sutrisno, SJ mengembuskan napas terakhir pada Minggu malam, 28 Desember 2025 pukul 20.43 WIB di Rumah Sakit Carolus, Jakarta. Dimakamkan di hari terakhir 2025 di Girisonta, Ungaran.
Sebelas hari sebelumnya, 17 Desember 2025 saya sempat berjumpa dengannya saat Romo Mudji memimpin Misa Tutup Peti ibunda sahabat saya, mas Ignatius ’Kumkum’ Haryanto.

Merinding, dan tidak ‘ge er‘ tentu saja. Kayaknya hanya pernah wawancara sekali pas beliau datang ke Unair, saat saya wartawan Radio Sonora Surabaya 1999.
Tapi, saat salaman di RS Carolus itu, beliau menatap saya seolah sudah kenal lama.
Kemarin datang ke Kapel Kolose Kanisius. Berdoa langsung di depan jenazah romo nan idealis dan rendah hati ini.
Laman Universitas Negeri Surabaya menyatakan kepergian Romo Mudji membuat dunia akademik dan kebudayaan Indonesia kehilangan tokoh intelektual berpengaruh.
Romo Mudji lahir di Surakarta pada 12 Agustus 1954 dan sejak muda menunjukkan kecintaan yang kuat terhadap ilmu pengetahuan serta nilai-nilai kebudayaan. Ia mengabdikan hidupnya sebagai imam dalam Serikat Yesus (SJ) dan mengembangkan kariernya sebagai budayawan, dosen filsafat, penulis, serta pemikir sosial. Ia mengenyam pendidikan filsafat hingga memperoleh gelar doktor di Universitas Gregoriana, Roma, sebuah institusi terkemuka di bidang teologi dan filsafat.
Selain itu, Romo Mudji aktif mengajar di berbagai kampus, termasuk STF Driyarkara Jakarta dan Universitas Indonesia, serta menjadi tokoh penting dalam dialog lintas disiplin antara filsafat, teologi, dan realitas sosial Indonesia. Karma akademik ini menjadikan beliau figur yang dekat dengan mahasiswa, intelektual muda, dan komunitas budaya di seluruh negeri.
Sebelumnya beliau juga terlibat dalam ranah publik sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2001–2003, tetapi kemudian memilih fokus pada pengajaran dan pembinaan generasi muda serta kegiatan sosial. Karya-karya nonfiksi yang ditulisnya sejak tahun 1983 kerap mengangkat tema filsafat, kebangsaan, etika sosial, dan kritik terhadap praktik kekuasaan serta dinamika kebudayaan. Kepekaan Romo Mudji terhadap persoalan bangsa membuatnya menjadi salah satu intelektual paling berpengaruh di ruang publik Indonesia.

11 Desember lalu, di Plaza Senayan Jakarta, Romo Mudji melelang dua lukisan sketsa karyanya utk fund raising SMA Kolese De Britto, berjudul , ‘Emaus‘ dan ‘La Pieta‘.
“Sangat berduka. Terakhir bertemu di refter CC Kolose Kanisius, 12 Desember pagi usai penggalangan dana. Beliau tampak segar, semangat, dan berbahagia. Beliau cerita, lelang semalam adalah rekor pencapaian atas karya seni beliau,“ kata Kepala Sekolah De Britto FX Catur Supatmono.
Catur sungguh tak menduga kalau Romo Mudji akan meninggalkan kita semua di akhir tahun. “Pengalaman iman macam ini memang selalu menghentak dan mengagetkan, dan saya meyakini kehendak Allah selalu baik adanya,“ ungkapnya.
Selamat jalan Romo yang rendah hati…


