“Bahagia adalah pada saat sakit perut di tengah kemacetan lalu lintas kota Jakarta berhasil menyelamatkan diri ke sebuah hotel dengan WC yang bersih dan berpelengkapan alat semprot air yang berfungsi.”

Bahagia itu sederhana. Setidaknya itulah yang dikutip sang “Semar”, Jaya Suprana, 65 tahun, sosok budayawan, musisi, komposer, kartunis, presenter televisi dan kelirumolog yang Mei 2010 lalu meluncurkan buku “Pedoman Menuju Tidak Bahagia”. Bukunya memang lama, tapi saya mendapatkannya baru-baru ini, langsung dari Aylawati Sarwono, pendamping Jaya yang namanya tertera di halaman persembahan buku ini.
Buku yang kemudian disebut sebagai ‘PMTB’ ini berisi koleksi tulisan tentang bahagia dan tidak bahagia, baik dalam kalimat-kalimat pendek, maupun cerita perenungan. Di masa kampanye ini –kita ingat sebuah partai gemar mengagungkan masa lalu- ada baiknya menyimak salah satu kisah dalam buku PMTB.