Obrigado Barak, Timor Leste

Timor Leste memberi Nil Maizar sederet catatan panjang, sebelum pekan depan membawa Timnas Indonesia berangkat ke Kuala Lumpur.

Spanduk menyindir Menpora. Dianggap kurang mendukung timnas.

Dua bulan di awal 2000-an, untuk sebuah kegiatan sosial, saya terdampar di sebuah desa di ujung timur Timor Leste. Di Kampung Baduro, salah satu pelosok Distrik Lautem, tak ada hiburan modern yang dapat dinikmati warga. Tak ada listrik, pun tak ada bahan bacaan rutin. Angkutan pedesaan menuju ibukota distrik yang berjarak 1,5 jam perjalanan, hanya hadir sekali sehari.

Praktis, hiburan murah meriah bagi para anak muda putus sekolah dan petani ladang di sana adalah olahraga. Sepakbola, menjadi katarsis utama bagi mereka yang terdera kemiskinan. Miro Baldo Bento de Araujo saat itu dikenal sebagai pesepakbola Indonesia sebelum 2005 memutuskan membela Timor Leste, merupakan pahlawan mereka. Miro mencetak tiga gol untuk timnas asuhan alm. Rusdy Bahalwan di Piala Tiger 1998, kini dikenal sebagai Piala AFF, pada turnamen yang sama saat tim Merah Putih terekam jejak kotor sepakbola gajah melawan Thailand.

Di lapangan berpasir samping gereja yang nyaris tak berumput, anak-anak muda macam Joao, Mario, dan Ferdinand seperti tak sabar menanti sore datang. Apalagi saat tiba waktunya digelar laga sepakbola antar kampung, kami pun berbondong-bondong menuju Lospalos, ibukota distrik, dengan menumpang truk pasukan perdamaian PBB asal Korea. Secuil tanah di sudut Pulau Timor itu menjanjikan wajah-wajah antusias anak-anak yang gila bermain bola. Urusan skill nanti dulu, tapi semangat dan kerja-keras mereka berbicara lebih dari teori.

Timor Leste, kini berada di peringkat ke-187 dari 207 negara yang ada di daftar ranking FIFA. Timnas asuhan Emerson dos Santos ini persis berada di bawah Brunei Darussalam, dua negara yang aset kekayaan serta kesejahteraannya bak bumi dan langit. Mereka pun tak perlu terlalu minder, karena Indonesia hanya berada dua puluhan tapak di atas, sama-sama di kasta rendah negara-negara sepakbola di dunia,  tepatnya di peringkat ke-165 dalam ranking FIFA per 7 November 2012.

Dalam sembilan kali gelaran Piala Tiger dan AFF Cup, Timor Leste hanya sekali berpartisipasi di babak utama, yakni pada 2004. Rekor mereka 4 kali main dan 4 kali kalah, memasukkan 2 gol, tapi kebobolan 18. Sementara pada perhelatan lainnya, negeri jajahan Portugis ini selalu kandas di babak kualifikasi, termasuk di Myanmar Oktober lalu, meski Jesse Pinto dkk sempat menang 5-1 atas Kamboja dan 3-1 melawan Laos. Sekali Timor Leste sempat menghentak saat tim yunior mereka mempermalukan Indonesia di Piala AFF U-16 di Solo, November 2010.

Bukan ujicoba berarti

Di petang jelang Malam Tahun Baru Jawa, tampil dengan kebanyakan pemain berumur di bawah 25 tahun, Timor Leste tak banyak menguji Bambang Pamungkas dan kawan-kawan. Dari Tribun VIP Barat, saya menyaksikan para penonton, yang jumlahnya tak ada sepertiga saat Persija main di Gelora Bung Karno, gagal mendapat hiburan permainan bola internasional. Apalagi namanya laga persahabatan, dengan pergantian pemain dilakukan sampai 6 kali, sulit melihat laga ini sebagai salah satu persiapan penting timnas menjelang bertempur di kejuaraan sepakbola paling bergengsi se-Asia Tenggara.

“Huuuuh…. huuuuh… huuuuh…” begitu suara penonton berpadu setiap pemain Timor Leste memainkan bola, ditambah sesekali celetukan rasisme. Kekecewaan juga ditampakkan saat babak pertama tak ada gol tercipta, mayoritas karena tak ada pemain Indonesia bisa melakukan tusukan dan penetrasi tajam ke daerah berbahaya. Kapten Elie Aiboy, 33 tahun, kian mantap dengan julukan “aki”, karena gerakannya selamban kakek-kakek, nyaris tak menyisakan kenangan dirinya sebagai Most Valuable Player FA Cup Malaysia 2005. Pertunjukan babak pertama terfokus pada pengatur serangan baru, Tonnie Cussel, yang oleh seorang perempuan Tegal di depan saya disebut sebagai “pemain imunisasi”. Dinaturalisasi dari Belanda, dengan mengecap pengalaman di kompetisi kelas tiga bersama GVV Veenendaal, Tonnie mampu membuat penggemar sepakbola Indonesia berucap, “Firman Utina? Siapa dia?”

Babak kedua sebenarnya tak jauh berbeda, kecuali saat “Jono” –panggilan sayang penonton untuk Jhon van Beukering mengirim umpan silang yang diselesaikan Bambang Pamungkas sambil menjatuhkan diri. Jono, pemuda berbobot 85 kilogram keturunan Maluku itu memang bukan Cristian Gonzales, tapi satu assist darinya di debut perdana, menunjukkan kesan jelas: jangan sampai tak dibawa ke Malaysia hanya karena masalah dianggap terlalu gendut. Satu pemain “impor” lainnya, Arthur Irawan, hanya tampil di separuh babak kedua. Tak banyak yang bisa dinilai dari bek kanan tim Espanyol B ini, kecuali satu kartu kuning yang didapatnya dari wasit Subkhir Singh, terlebih karena ia kurang berani maju membantu serangan.

Untungnya, tim se-grup Indonesia di AFF Cup nanti juga tak mendapatkan lawan berarti dalam persiapan pekan terakhinya. Malaysia ditahan 1-1 oleh Hongkong, sementara Singapura dikalahkan tuan rumah Filipina 0-1. Adapun Thailand sukses membantai Bhutan 5-0, dan Myanmar bermain imbang 1-1 dengan klub Divisi Dua Liga Jepang, Fagiano Okayama.

Meski kalah, anak-anak di negeri matahari itu percaya, penampilan mereka adalah prestasi. “Ini pencapaian hebat bagi Timor Leste. Kami biasa kalah telak dari Indonesia,” kata kapten Jesse Fernando. Ia optimis, dalam lima tahun ke depan, Timor Leste akan bertransformasi menjadi salah satu tim terbaik di Asia. Seoptimis anak-anak di kampung Baduro, yang terus bermain dan bermain bola setiap sore, meski tanpa rumput dan gawang permanen di sana. Mereka bermain dengan gembira, memainkan bola dengan hati.

Obrigado Barak, terimakasih banyak, kawan-kawan Timor Leste!

Leave a Reply

Your email address will not be published.