Ketua Umum DPP Organda meluncurkan buku terkait ruwetnya persoalan transportasi, dan alternatif solusi yang disodorkan.
Ini buku bukan sekadar curhat. Dari gaya cerita dengan subyek sebagai orang ketiga, memang terkesan bak diary, catatan harian tentang berbagai problem transportasi. Dari masalah macet Jakarta, rumitnya lalu-lintas Bali, banjir motor, kian mengenaskannya angkutan umum, sampai bakal hadirnya ledakan mobil murah.
Eka Lorena Surbakti, putri sulung GT Surbakti, pendiri Lorena Group yang juga mantan Ketua Umum DPP Organisasi Angkutan Daerah, lahir 3 Juni 1969. Menamatkan Master of Business Administration, University of San Fransisco, California, Eka tak tiba-tiba datang dan menjadi pucuk pimpinan Lorena Group. Sejak kecil, ia tumbuh dan berkembang seiring sejarah Lorena Group, yang berdiri pada 1970. Akhir pekan kerap dihabiskannya di garasi (pool) Lorena, dengan kamar tidur berada dekan ruang teknik, sehingga telinganya pun akrab dengan suara-suara mesin.
Eka kecil kerap “menghilang” sehingga sebagian orang panik. Namun, ia selalu ditemukan di ruang operasional. Di sana Eka kecil duduk dengan tenang, dengan kaki yang menjuntai-juntai, datang dan melihat kondisi langsung “dapur” Lorena. Dari usia sangat dini, sejak belum duduk di bangku sekolah, dirinya telah bersinggungan dengan dunia transportasi darat.
Pendekatan “gaul” model inilah yang kemudian membuatnya menjalankan bisnis Lorena Group dengan luwes. Termasuk saat menangani masalah-masalah kronis yang tak bisa diselesaikan kaum adam. Dalam perjalanannya menyusuri jalanan Sumatera menuju Jawa, Eka menemukan masalah preman, yang mengganggu perjalanan bis Lorena, termasuk menguras dana pungutan liar tak terkira. Eka bekerja cerdas, dengan turun tangan langsung ke Merak, dan ditaklukkannya preman-preman tersebut laksana sahabat. Sama sekali tidak ada pertumpahan darah. Eka cukup menyapa preman itu dengan pertanyaan, “Abang, bagus sekali tatonya. Bikin di mana, bang?” Sang preman tertegun lantas tertawa terbahak-bahak. Eka –perempuan dengan tiga tato di tubuhnya- menaklukkan penguasa Merak tanpa membuat preman tadi merasa dijatuhkan.
Jenuh macet
Kisah macet Jakarta yang sampai pada titik frustrasi, berawal dari kisah kesehariannya, tak ubahnya warga ibukota yang lain. Bagaimana Eka berangkat pukul 06.30 dari rumahnya di kawasan Kemang, untuk sebuah pertemuan di Jakarta Utara. Herannya, satu setengah jam kemudian, ia masih berada di kawasan Mampang Prapatan, tak jauh dari area tempat tinggalnya.
“Situasi Jakarta sudah tak sehat. Bayangkan jika seorang ibu yang bekerja di Sudirman ditelpon anaknya yang sakit di rumah di Cibubur. Tiga jam kemudian baru ia bisa sampai rumah,” kata Eka dalam peluncuran bukunya. Tak adanya kebijakan terintegrasi antara pemerintah dengan pihak swasta, sehingga warga kota lebih suka memilih kendaraan pribadi, juga menjadi pemikiran utamanya. Sebagaimana ada pada video liputan Alvin Hendrian dan Sadudin Mukhlis dari Kompas TV, yang tayang di program berita “Kompas Petang”, Minggu, (29/9).
Haryo Damardono, wartawan Harian Kompas yang lama menjadi spesialis peliput berita sektor transportasi, menyatakan, bukuini memang dikemas dalam tampilan khas agar enak dibaca. “Ukuran hurufnya agak besar, agar bisa dibaca oleh semua kalangan usia,” kata pria 34 tahun yang sering menerima penghargaan penulisan bidang perhubungan ini.
Masa penulisan buku agak tertunda, karena sengaja menunggu regulasi pemerintah terkait low-cost green car atau mobil murah. “Hasilnya, mengecewakan, karena tak berpihak pada angkutan publik,” kata Eka mengomentari Permenperin Noor 33 Tahun 2013, yang ditandatangani Menteri Perindustrian Mohamad S Hidayat pada Senin, 1 Juli 2013. Permenperin ini jelas kian memuluskan langkah industri kendaraan bermotor untk memproduksi LGCC. Begitu cepatnya penyusunan regulasi ini menyimpulkan bahwa produksi kendaraan pribadi lebih diprioritaskan daripada pengadaan angkutan umum.
Jalan mengatasi kemacetan dan berbagai problem transportasi di Indonesia masih amat panjang. Tentu tak langsung selesai dengan membaca buku 306 halaman yang ditulis dengan gaya nge-pop ini. Tapi, sebagai sebuah masukan dan buah pikir dari sosok yang berkeringat dan berpeluh oli secara langsung di bidangnya, berbagai usulan dalam buku ini layak sebagai sebuah referensi solusi…