Komunitas Satu Senyum dideklarasikan. Bersama saling menguatkan.
Minggu (3/11) kemarin, bahagia rasanya bisa ikut hadir dalam peresmian komunitas “Satu Senyum”, di auditorium Museum Bank Mandiri, kawasan Kota Tua, Jakarta. Ini adalah wadah bagi keluarga dengan anak yang lahir dengan celah bibir dan langit-langit (CBL). Kondisi kelainan bawaan seperti ini, tak pernah jelas apa yang menjadi penyebabnya, apakah masalah dari dalam –misalnya kurangnya asupan gizi, atau kondisi mental orangtua saat mengandung, atau faktor dari luar –polusi maupun kandungan makanan yang masuk ke ibu hamil. Tak bisa dimungkiri, ada perasaan bagi orangtua kala pertama tahu kondisi “istimewa” pada anaknya.
Alih-alih merepotkan “why”, baiknya memang keluarga dengan anak CBL berpikir “what next”. Di sela-sela kesibukan sehari-hari maupun proses penyempurnaan si kecil – perawatan, persiapan operasi, pascaoperasi, terapi wicara, dan lain-lain- kehadiran komunitas sebagai tempat berbagi menjadi sebuah nilai tersendiri.
Gabriella Kirana Harnasti, puteri tercinta kami, sudah dinyatakan lahir dengan celah langit, saat kelahirannya, 2 Desember 2011. Proses demi proses dilaluinya, dari menerima sampai menolak obturator, semacam langit-langit buatan yang dipasang agar tak tersedak saat minum susu. Dari perawatan bulanan, Kira menjalani operasi celah langit pada 3 Juli 2013, dan kini menjalani terapi wicara mingguan, agar kelak ia dapat berbicara sebagaimana bocah lainnya.
Memang, masalah utama bagi keluarga dengan celah bibir dan langit adalah “percaya diri”. Awalnya, adalah percaya diri bagi orangtua. Bahwa ia memiliki anak yang “baik-baik saja” dan “segala sesuatu indah pada waktu-Nya”. Terkemudian, adalah percaya diri bagi anak itu sendiri, hingga ia beranjak dewasa.
Tak semua anak CBL bisa seperti @ginteguh yang dengan bangga, menulis di bio twitternya: “Born has labiopalatoschizis”. Di setiap perkenalannya di sekolah, Ginanjar selalu menjelaskan, “Saya lahir sebagai anak sumbing.” Toh, dengan kekurangsempurnaan itu –lahir dengan celah langit dan bibir dengan menjalani dua kali operasi, kini Ginanjar Teguh Iman telah menjadi seorang yang jauh lebih sempurna, dengan kepiawaiannya menulis, mencipta lagu dan sebagai filmmaker.
Hidup adalah persoalan mensyukuri. Dengan kekurangsempurnaan, kita menempuh jalan dan proses menjadi lebih sempurna. Dengan pengalaman dan perasaan yang tak dimiliki orang lain. Bersama kawan-kawan sejalan, perasaan yang awalnya tertekan itu pun akan menjadi ringan…