Fuad Baradja menemukan jalan baru di hidupnya. Dari artis sinetron menjadi “pendakwah” sekaligus aktivis antirokok.
Hanya butuh dua hari setelah saya menulis blog tentang gencarnya kampanye industri rokok, datang kiriman buku dari Fuad Baradja. Judulnya, “Hari Gini Masih Ngerokok, Apa Kata Dunia?!” berisi kilasan 250 update status facebooknya, yang semuanya tentang “dakwah” antirokok.
Buku 316 halaman ini terasa ringan, karena isinya nukilan status FB, dengan ditambah ulasan seperlunya. Tengoklah isi statusnya pada 22 Desember 2010, “Serang teman wanita yang kebetulan perokok dan punya hobi menulis mengirim sms: Kadang ketika menulis, otak saya blank, nggak ada inspirasi, ide, atau gagasan yang bisa saya tuangkan ke dalam tulisan. Kadang dengan merokok segalanya cair kembali.” Fuad menentang anggapan bahwa merokok merupakan dasar sumber inspirasi dalam proses kreatif. “Buktinya, banyak penulis besar dunia nggak merokok tuh,” kata aktor yang melejit lewat sinetron ‘Jin dan Jun’ dan sempat sebelas tahun menjadi perokok ini.
Fuad menjelaskan, rokok bukanlah sumber inspirasi ketika seseorang merasa kurang bersemangat dalam bekerja. Orang yang terbiasa mengasup nikotin ke otaknya melalui aktivitas merokok, akan selalu memerlukan rokok untuk membuatnya bisa lebih berkonsentrasi dalam bekerja atau melakukan aktivitas lain. “Nikotin yang diisap melalui rokok akan mencapai otak dalam 10 detik setelah isapan pertama dan akan mengaktifkan zat dopamine di otak. Dopamine inilah yang kemudian membuatnya merasa senang, bahagia, puas, santai, kenyang, dan lain-lain.
Kali lain, Fuad berceloteh, “Saya heran, helm dan seatbelt saja diurusi oleh negara dengan peraturan khusus dan penegakan yang ketat. Kenapa rokok yang jelas-jelas merusak kesehatan perokok dan orang-orang di sekelilingnya tak ada aturan yang kuat disertai penegakan hukum yang memadai? Masak iya sih, ini cara menekan populasi?”
Atau saat ia berkisah, “Saya pernah melihat foto anak kecil yang tampak kurus di akun FB seorang teman. Saya tanyakan kepada seorang wanita yang bersamanya. Wanita itu bilang bahwa anak itu keponakannya. Saya tanya lagi apakah ayah anak itu perokok? Dia jawab, “Ya.” Saya tanya lagi apakah anak itu susah makan? Dia jawab, “Ya, susah sekali.” Saya katakana bahwa anak itu mungkin kurus karena setiap hari mengisap asap rokok ayahnya sehingga sulit disuruh makan.” Kata Fuad, zat dopamine dalam asap rokok yang dihisap anak itu membuat perokok pasif merasa kenyang, sehingga kurang memiliki nafsu makan.
Marlboro Man
Anda ingat iklan rokok Marlboro berlatar pedesaan Amerika Serikat dengan cowboy dan kuda yang ditungganginya? Di kalangan aktivis antirokok sempat ada guyonan, “Eh, bintang iklan rokok Marlboro yang jadi cowboy itu masih hidup, lho. Tapi, kudanya sudah mati.” Lho, kok bisa? “Iya, kan kudanya perokok pasif!” Sudah jamak kita dengar, bahwa perokok pasif berada dalam bahaya lebih besar, daripada yang dihadapi perokoknya sendiri.
Tapi, berita di media massa pekan lalu mencelikkan kita. Koran Kompas (29/1) memasang judul “Ikon Marlboro Meninggal akibat Penyakit Paru”. Disebutkan, Ikon rokok Marlboro tahun 1978-1981, Eric Lawson, meninggal pada usia 72 tahun karena gagal napas akibat penyakit paru obstruktif kronik (COPD) di rumahnya di San Luis Obispo, California, Amerika Serikat, Minggu (26/1).
Selain dikenal sebagai ‘”The Marlboro Man”, karier akting Lawson tercatat dalam beberapa film seri televisi, seperti The Street of San Francisco, Charlie’s Angels, Dynasty, dan Baywatch. Menurut istrinya, Lawson merokok sejak usia 14 tahun dan baru berhenti saat didiagnosis COPD. ”Dia tahu penyebabnya,” ujar Susan Lawson dalam wawancara dengan Variety, ”Namun, tak bisa berhenti.”
Lawson, yang digambarkan sebagai koboi dengan rokok di alam liar, kemudian muncul dalam iklan antirokok yang merupakan parodi The Marlboro Man. Selain itu, dalam Entertainment Tonight di stasiun televisi CBS, ia mendiskusikan tentang dampak negatif merokok.
Lawson adalah ikon kelima Marlboro yang meninggal karena penyakit akibat merokok. Pendahulunya, Wayne McLaren, meninggal pada usia 51 tahun pada 1992 karena kanker paru. David McLean juga meninggal karena kanker paru pada 1995, juga Dick Hammer yang meninggal pada 1999. Sebelumnya, David Millar meninggal karena emphysema tahun 1987.
Bicara soal ikon iklan, Fuad Baradja juga menulis cerita tentang David Goerlitz, bintang iklan produksi RJ Reynolds di Amerik. Goerlitz pernah bertanya kepada seorang eksekutif di perusahaan itu, “Mengapa para karyawan di perusahaan Anda tidak merokok?” Sang eksekutif menjawab, “We don’t smoke that shit. We just reserve the right to sell it to the young, the poor, the black, and the stupid. Kami tidak mengonsumsi barang hina itu. Kami hanya menggunakan hak kami untuk menjualnya kepada para anak muda, orang miskin, orang berkulit hitam, dan orang bodoh.” Betapa rendahnya posisi mereka yang disasar perusahaan rokok itu.
Terimakasih, mas Fuad. Teruslah menulis, teruslah berdakwa, menyadarkan para penghisap rokok, yang tak sadar mendekatkan hidup mereka pada kematian, sekaligus merancang kualitas kehidupan nan buruk bagi dirinya dan orang-orang terdekatnya…