Svaradiva Anurdea Devi meliput kampanye Partai Gerindra di Stadion Utama Gelora Bung Karno dan mewawancarai ‘wong cilik’ yang ada di sana.
Tugas liputan stand-up kampanye mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara (UMN) yang ini lebih keren. Masih mengambil lokasi rapat akbar Partai Gerakan Indonesia Raya di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Diva mengambil sisi lain di sana.
Sejak era ‘dizalimi’ pemerintahan Orde Baru, PDI (saat itu belum pakai kata Perjuangan) menggunakan jargon sebagai ‘partainya wong cilik’. Di balik nama besar Golkar yang banyak dipilih (tepatnya harus dipilih) pegawai negeri, keluarga ABRI, dan organisasi-organisasi profesi lain, PDI memposisikan diri sebagai partainya rakyat jelata. Tapi, situasi sedikit berbeda saat 1999-2004 PDI Perjuangan tampil sebagai elit di pemerintahan.
Peneliti CSIS Sunny Tanuwidjaja pernah menulis di liputan6.com, rakyat tidak lagi melihat PDI-P sebagai partai reformis dan partai wong cilik. “Pola manajemen partai yang sentralistik dengan dominasi pusat, bahkan dominasi sang ketua umum sangat jelas terlihat, membuat partai ini tidak lagi dianggap mewakili semangat reformasi yang demokratis,” kata doktor ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Pria yang kini dikenal sebagai ring satunya Wagub DKI Basuki Tjahaja Purnama ini menambahkan, berbagai indikasi keterlibatan elit-elit partai dalam politik uang dan KKN, baik di daerah maupun di pusat, menekankan bagaimana jurang antara elit partai ini dengan konstituen wong cilik sangatlah lebar.
Pertanyaannya sekarang, apakah istilah partai wong cilik itu sudah direbut oleh Gerindra? Apalagi dalam perbincangan dengan sopir taksi, ojek, maupun kalangan-kalangan pinggir jalan lain, hanya Prabowo Subianto yang popularitasnya sebagai capres sejajar dengan nama Joko Widodo. Kesan partai wong cilik itu juga coba ditampilkan dalam kampanye akbarnya di Stadion Utama GBK, 23 Maret lalu.
Gambar tajam, pertanyaan tumpul
Diva, mahasiswa jurnalistik semester 4 UMN mengemas liputan kampanye Gerindra di Senayan dengan menarik. Belanjaan gambarnya cukup banyak, mulai iringan latar musik dangdut, marching band, Prabowo masuk lapangan dengan jip terbuka, gambar-gambar peserta kampanye dari kalangan masyarakat bawah menggendong bawah, sampai wawancaranya dengan seorang ibu bersama anak balitanya yang jauh-jauh datang dari Jakarta Utara.
Sayang, Diva memilih berstand-up sekaligus mewawancarai warga di luar stadion, mungkin untuk alasan “keamanan” audio yang didapat. Finalis Miss UMN 2013 ini liputan dengan menggunakan Canon Kiss x5, serta handphone Esia Max-D untuk mem-backup suara jika kurang terdengar di kamera. Sebuah siasat cerdas di tengah peralatan sederhana yang dipakainya.
“Tidak ada kendala yang berarti selama liputan berlangsung, namun masalah mulai muncul ketika proses editing,” katanya. Diva mengaku melakukan tiga kali ‘take’ liputan di tiga tempat berbeda, untuk berjaga-jaga seandainya hasil yang lain kurang bagus. “Uniknya, di setiap liputan, ada kelemahan dan kelebihan masing-masing,” paparnya. Misalnya, ada satu video yang visualnya sangat bagus, namun sayangnya pertanyaan yang diajukan serta jawaban narasumber kurang bagus.
Selain gambar yang tajam dan topik liputan terfokus, video ini memiliki beberapa kelemahan. Masih ada saja narasi yang diucapkan Diva tak sesuai dengan visual yang muncul, misalnya saat menyebut kampanye ini dimeriahkan dengan maskot Gerindra berbentuk kepala burung garuda, tapi tak ada gambar selaras dengan itu.
Poin minus lain, tak ubahnya beberapa mahasiswa lain, yakni nyaris tak ada teks di layar atau CG –character generator- yang dapat membantu pemirsa mengetahui materi apa yang disampaikan, sekaligus menjadi daya tarik tersendiri agar tetap bertahan melihat sebuah tayangan televisi, dan tak terburu berpindah ke saluran lain. Dalam liputan berdurasi ini, Diva bisa saja menulis CG misalnya ‘Prabowo Datang Menggunakan Jip Bak Terbuka’, ‘Kampanye Gerindra Ramai dengan Anak-Anak’, ‘Sekitar 100 Ribu Simpatisan Padati Rapat Akbar Gerindra’ atau ‘Ada Marching Band di Kampanye Gerindra’.
Satu lagi, saat mewawancara Ema, perempuan asal Tanjung Priok, Diva kurang tajam melempar pertanyaan. Sudah bagus ia bertanya, “Apa sih yang ibu dapatkan dari kampanye Gerindra ini?” Setelah si ibu menjawab, akan lebih apik kalau Diva mencecar Ema dengan pertanyaan, misal seputar money politic, misalnya, “Ibu datang naik apa?” “Siapa yang mengajak?” atau “Adakah imbalan atau iming-iming tertentu untuk hadir ke acara ini?”
Apapun jawabannya, tidak masalah, yang penting reporter sudah mengerahkan pertanyaan terbaiknya, untuk mewakili tanda tanya yang ada di benak pemirsa di rumah.
One Reply to “UTS Liputan Kampanye: Gerindra, Tranformasi Partainya Wong Cilik?”