Liputan kampanye Thesar sangat antusias. Sayang terlalu bersemangat –atau karena nervous, justru jadi terbata-bata.
Thesar Metta Mulyana berbekal antusiasme dan semangat tinggi meliput kampanye Partai Gerindra di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan. Mengambil lokasi di tribun untuk mengawali stand-up, ia kemudian mendekat ke Wajar, nama salah seorang simpatisan partai bernomor urut 6 itu. Namun, ketergesa-gesaan dan kurangnya kemampuan penguasaan diri, membuat Thesar malah kurang lancar berkata-kata.
Pemilihan blocking atau lokasi liputan, sikap siap dan jiwa reporter yang berspirit tinggi menjadi nilai plusnya. Namun, karena kurang membuat diri kalem di depan ‘layar’, Thesar malah seperti kehilangan kendali, misal saat menyebut tema laporannya, juga lokasi GBK yang ‘kepleset’ jadi istana.
Belajar makna superteam
Bagaimanapun, Thesar telah belajar bahwa menjadi jurnalis televisi, bukanlah pekerjaan seorang diri. Tak ada superman atau superwoman dalam dunia televisi, yang ada adalah superteam. Nilai seorang presenter atau reporter tidaklah lebih tinggi dari cameraperson, atau bagian gulung kabel di bagian produksi siaran luar, misalnya. “Pengalaman yang saya miliki saat liputan ini adalah arti kebersamaan bersama teman -teman, karena ketika saya liputan tak mungkin saya melakukannya sendiri,” ungkap Thesar.
Ia pun merasa mendapat pengalaman baru dalam peliputan TV, karena proses peliputan TV ternyata susah-susah gampang. “Ketika kita melihat di TV mungkin terlihat mudah, namun pada prakteknya kita harus memiliki mental yang mumpuni agar tetap berkonsentrasi,” kata Thesar.
Selain kritik agar lebih ‘woles’ dan kalem saat laporan –tanpa menghilangkan unsur antusiasme dan semangat, kelemahan video jurnalisme ini masih standar dengan lainnya: tanpa CG dan miskin visual liputan.
Terus semangat, Thesar!