Hari ke-24 di Hawaii: Transportasi yang Memanusiakan Manusia

Salah satu ciri negara maju: memberikan layanan angkutan memadai bagi warganya.

Bus Hawaii sahabat difabel. Pintunya harus bisa dibuka miring sebagai jalan kursi roda.
Bus Hawaii sahabat difabel. Pintunya harus bisa dibuka miring sebagai jalan kursi roda.

Beberapa kali ke mancanegara, beruntung sempat memanfaatkan fasilitas layanan transportasi publik di setiap kawasan. Sempat mengecap bus dan MRT Singapura, Bus Conexxion serta kereta api di Belanda Utara, trem di Amsterdam, kereta gratisan Utah rail service di Salt Lake City, juga Metro atau subway alias kereta bawah tanah di Amsterdam, Paris, Washington DC memberikan pemaknaan tersendiri. Betapa negara berupaya semaksimal mungkin memanusiakan warganya melalui sarana angkutan yang nyaman.

Minggu kemarin, hari libur terakhir di Hawaii sebelum lusa bertolak ke Indonesia, saya manfaatkan dengan berkeliling Pulau Maui. Namanya pulau kecil, di sini tak ada kereta api. Yang ada bus, dioperasikan oleh operator pemerintah bernama Roberts Hawaii.

Operator ini melayani berbagai jenis sarana angkut, mulai airport shuttle, bus besar di dalam pulau, hingga bus kelas sedang untuk menjangkau pelosok desa hingga lereng perbukitan. Setiap bus, apapun bentuknya, harus punya pintu yang bisa dibuka menjadi bidang miring (ramp) sehingga memungkinkan jadi jalan pengguna kursi roda.

Tiketnya? Dua dolar untuk sekali jalan, sesuai rute yang ditentukan dalam trayek antar kota di Pulau Maui. Tapi, ada pula tiket untuk sehari (all day pass) seharga 4 dolar AS. Jadi, itu yang saya lakukan. Dengan 4 dolar saja, sudah bisa berkeliling pulau, berganti-ganti bus besar ke sedang, dari pusat keberangkatan di mall Queen Ka’ahumanu sampai ke Kula. desa setinggi 1.100 meter di lereng Gunung Haleakala.

Beda kultur

Suasana di dalam bus di Maui. Nyaman, penumpang sedikit.
Suasana di dalam bus di Maui. Nyaman, penumpang sedikit.

Minggu kemarin, saya berpetualang hanya berdua, bersama Moses Heryanto, seorang pengusaha travel di Bogor. Berbekal peta yang didapatkan gratis di bus, kami berpindah-pindah bus. Pulau Maui ini hanya berpenduduk 145 ribu orang, jadi jangan salahkan kalau menunggu busnya pun lama. Untuk setiap rute harus menunggu sekitar sejam, karena hanya tersedia dua bus yang jalan dari arah berlawanan.

“Ya maklumlah, demand sedikit, supply sedikit. Beda dengan di Ciledug, jumlah angkot jauh melebihi kebutuhan warganya,” kata saya ke Moses. Sebagai warga Baranangsiang –yang juga mengalami overload angkot- tak ada pilihan baginya selain mengiyakan pernyataan saya. Kami sepakat, seandainya jumlah angkot di Ciledug atau Bogor dikandangkan separuh, tetap tak akan membuat warga mengeluh kekurangan armada. Yang ada justru jalan lebih lancar, dan rezeki sopir angkot bertambah karena tarikannya selalu penuh. Sementara sekarang? Khas orang Indonesia, lebih suka bagi-bagi rezeki. Biarlah angkotnya hanya terisi sedikit, yang penting setiap sopir bisa bawa pulang uang ke rumah.

Keunikan lain angkot di sini, seolah sopirnya tak butuh uang. Bisa jadi karena mereka sudah digaji tetap dengan jumlah pendapatan mencukupi. Jadi, tak ada sistem setoran yang harus mereka pertanggungjawabkan untuk mencapai target atau komisi. Saat memasukkan uang ke kotak kaca, jarang sekali sopir melihat apakah uangnya sudah benar 2 dolar. Atau saat kami menunjukkan pas harian 4 dolar, tak juga dilihatnya teliti, apakah benar tiket harian itu bertanggal hari ini dan bukan kemarin. Tak ada mesin yang harus digesek –seperti di bus Belanda yang konsepnya seperti naik KRL Jakarta, tap kartu saat naik dan turun. Karena penduduk Hawaii sudah terbiasa hidup jujur? Mungkin saja.

Antrean bus di pusat pemberangkatan mall Queen Ka’ahumanu. Persis seperti jadwal.
Antrean bus di pusat pemberangkatan mall Queen Ka’ahumanu. Persis seperti jadwal.

Tak ada sistem yang sempurna tentu saja. Karena seolah tak butuh penumpang, kami dua kali ketinggalan bus. Padahal, jelas sekali busnya sudah ada di depan hidung. Tapi, karena tidak ngeh apakah itu rute yang harus kami naiki, serta tak paham betapa cepatnya pintu bus tertutup, bus berjalan dan memaksa kami menunggu sejam lagi. Kalau di Indonesia, niscaya sopir atau keneknya tak akan melewatkan kami, karena terus berteriak mengumumkan jurusan yang dituju, atau bahkan menggeret-geret tangan calon penumpang. Di sini, boro-boro teriak-teriak, yang ada sopirnya hanya melihat jam, lalu menutup pintu dan berangkat.

Jam berangkat dan tiba bus Hawaii nyaris selalu presisi seperti yang ada di brosur. Soal waktu antara, biasa disebut headway, inilah yang tak bisa diterapkan di Indonesia. Saya pernah mengundang Direktur Layanan Transjakarta sebagai narasumber dialog di KompasTv. Usai acara, saya tantang beliau, mengapa Transjakarta tidak berani mematok headway di halte, seperti yang diterapkan bus SBS Transit Singapura. Atau, taruhlah seperti KRL Commuter Jabodetabek. Meski tak selalu tepat dengan jadwal, tapi KRL memasang jadwal jam berapa kereta tertentu akan tiba di sebuah stasiun. Padahal toh, bus Transjakarta sudah memiliki jalur sendiri, yang seharusnya bisa melintas tanpa hambatan. “Susah. Jumlah lampu merah yang banyak di Jakarta membuat kami tak bisa memastikan kapan bus datang,” kilah sang direktur. Lha, bukannya kalau sudah berani bikin headway justru terpacu untuk on-time dan melayani penumpang lebih pasti?

Salam headway dari Maui, Hawaii…

Leave a Reply

Your email address will not be published.