Basuki Tjahaja Purnama sudah menjatuhkan pilihan tentang siapa pendampingnya sebagai Wakil Gubernur DKI akarta. Siapa sebenarnya Djarot Saiful Hidayat?
Jum’at malam (5/12) Djarot hadir di Studio Kompas TV, Palmerah Selatan, Jakarta dan meladeni Cindy Sistyarani dalam dialog ‘Kompas Malam’. Politisi senior PDI Perjuangan yang dua periode (2000-2010) menjabat Walikota Blitar, Jawa Timur, itu menjawab lugas banyak hal terkait bagaimana program kerja dan seputar problem krusial Jakarta.
Berikut petikannya.
Cindy: Anda tampak makin sibuk menjelang pelantikan sebagai Wagub DKI?
Djarot: Aktivitas saya memang begini. Saya hidup di Jakarta sejak 2010. Sempat terkejut sedikit dengan kemacetan Jakarta, beda dengan Blitar yang tenang dan nyaman. Tapi kini saya terbiasa dengan ritme Jakarta ini. Cindy: Pada 2010 Anda warga biasa di Jakarta. Tapi, kini Anda akan jadi pemangku jabatan yang diharap punya solusi mengatasi persoalan Jakarta?
Djarot: Semua persoalan pasti ada solusinya. Persoalannya, kita mau tidak melaksanakan solusi itu secara konsisten dan terus-menerus, agar problem itu terpecahkan. Semua pasti ada solusinya.
Cindy: Termasuk penyakit klasik Jakarta, seperti banjir dan macet. Sudah ada solusinya?
Djarot: Solusi itu tak mungkin terwujud dalam jangka waktu setahun misalnya. Yang menyebabkan macet itu apa? Mengapa bisa macet seperti ini? Jakarta ini sudah kehilangan fungsi utama sebagai kota pemerintahan dan kota jasa. Semua orang masuk ke Jakarta. Karena sudah kehilangan itu, kita lalai pada penataan ruang di Jakarta.
Coba Anda lihat, berapa ruang terbuka hijau (RTH) yang sekarang berganti menjadi mal? Di Jakarta itu ada 170 mal, itu jumlah mal terbanyak di dunia untuk sebuah kota. Bayangkan kalau RTH itu berganti menjadi hotel, apartemen, demikian luar biasa. Ini salah satu penyebab kemacetan. Bagaimana tidak macet, kalau di apartemen itu tinggal misalnya ada 200 kamar, 200 keluarga, dan masing-masing keluarga punya mobil.
Di Jakarta itu banyak orang punya mobil mewah seperti mobil balap. Ini waras nggak, sih? Di daerah macet dia punya mobil balap. Di satu rumah atau apartemen, dia punya lima mobil. Kalau sudah seperti ini, yang perlu kita benahi yakni transportasi publik yang bagus. Kita butuh MRT, kita butuh Transjakarta yang bagus, yang nyaman, yang tepat waktu.
Kita tidak bisa dengan solusi kejar-kejaran antara membangun jalan dan jumlah kendaraan. Itu sama halnya dengan kita menghitung antara deret hitung dan deret ukur…
Cindy: Dua tahun Jokowi-Ahok belum bisa memperbaiki tentang Transjakarta, bahkan sempat bermasalah…
Djarot: Harus kita perbaiki dari sisi manajemennya. Kalau kita beli bus Transjakarta, itu harus yang bagus, dong. Harus ada jaminan maintenance-nya, garansinya, asuransi, suku cadangnya. Jangan beli bus terus dilempar begitu saja. Itu baru pengadaan, belum manajemennya. Solusi kemacetan tetap harus pakai transportasi publik.
Cindy: Bagaimana mendorong masyarakat menggunakan transportasi publik, mengingat selama ini sudah biasa ‘manja’…
Djarot: Transportasi publik yang berkualitas, nyaman, aman, dan tepat waktu. Tak ubahnya kalau ke bandara, saya lebih suka pakai bus Damri, daripada bawa mobil pribadi.
Tentu saja semua ada prosesnya. Kita perbaiki sistem. Yang sudah ada, kita perbaiki kualitasnya. Tidak simple juga. Ini butuh kerja keras, butuh komitmen dan konsistensi. Targetnya, kita ingin kemacetan di Jakarta tidak bertambah parah dari tahun ke tahun.
Jakarta ini kan macet sejak 1995-an. Itu karena perubahan fungsi tata ruang. Kemacetan bukan akar masalah. Akar masalahnya penataan ruang. Misalnya, bisakah kawasan industri berat kita geser ke luar, ke daerah Banten sana. Yang kita geser bukan hanya orangnya lho, tapi orangnya iya, kendaraannya iya. Otomatis kan juga akan mengurangi kemacetan.
Cindy: Bicara soal banjir, bukan hanya masalah Jakarta, tapi juga daerah penyangga.
Djarot: Pak Jokowi dan Pak Basuki sudah bicara dengan daerah lain seperti Bogor, Depok, dan Tangerang. Ini rintisan yang bagus. Untuk itu, perlu ada forum yang secara berkala bertemu. Rumuskan program-program itu. Tak bisa hanya sekali bertemu. Kami akan meneruskan forum itu.
Pemerintah pusat juga bertanggungjawab, karena ini menyangkut antar provinsi dan antar kabupaten/kota. Kebetulan, alhamdullilah, presidennya Pak Jokowi, yang pernah menangani persoalan ini semasa menjadi Gubernur DKI.
Cindy: Anda optimistis masalah ini bisa selesai?
Djarot: Kalau kita melakukan sesuatu itu kita harus optimistis. Tapi, untuk mencapai optimism itu, ditentukan oleh satu langkah ke depan.
Cindy: Ada pembagian tugas khusus dengan Gubernur DKI? Seperti Jokowi yang saat menjadi gubernur banyak blusukan, sementara Ahok membenahi birokrasi. Bagaimana dengan Anda nantinya?
Djarot: Saya sudah bertemu dengan Pak Basuki di Balai Kota. Ngobrol santai sekali. Beliau secara egaliter bilang, “Sudahlah, Mas. Kita tak ada pembagian tugas yang kaku dan rigid. Apa yang Mas bisa kerjakan, kerjakan saja. Prinsip kita saling membantu, saling mendukung.”
Cindy: Masalah birokrasi Anda lihat jadi hal besar?
Djarot: Kita harus mengubah pola pikir. Fungsi utama birokrasi pemerintah itu melayani. To served the people. Seorang aparat pemerintah itu 24 jam harus siap melayani. Birokrasi itu tidak pernah tidur. Misalnya, saja malam-malam ada kebakaran. Birokrasi harus siap, turun.
Birokrasi kita sering lambat mengambil keputusan. Mengapa? Mungkin struktur organisasinya terlalu gemuk, sehingga banyak meja yang harus dilalui. Kita ingin birokrasi itu responsif, cepat, tepat, dan jujur.
Cindy: DPRD menyorot, serapan anggaran Pemerintah Jakarta minim?
Djarot: Kita harus cari tahu, mengapa serapan anggaran DKI tak sampai 40 persen? Memang, sisa anggaran itu tak akan hilang, jadi SILPA (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Tahun Berkenan). Tapi kita tetap harus evaluasi, apakah perencanaannya tidak baik, apakah birokrasi, atau ada ketakutan yang berlebih-lebihan.
Cindy: Anda menilai masalah DPRD dan Pemerintahan DKI sebagai hal serius?
Salah satu fungsi saya adalah sebagai jembatan untuk berkomunikasi dengan DPRD. DPRd dan Eksekutif adalah mitra. Di DPRD, harusnya sudah tidak ada koalisi-koalisi lagi. Selesai sudah itu. Ketika seseorang sudah duduk di lembaga yang terhormat itu, maka sekat-sekat itu sudah hilang, apalagi kalau berkaitan dengan kepentingan masyarakat. Janganlah kita terkotak-kotak dan mengorbankan masyarakat. Saya kira visi DPRD dan pemerintah juga sama. Yang penting komunikasi kita baik dengan mereka. Hati saya bersih, dan saya yakin hati mereka juga bersih. Dan yang penting, komitmen kita semua untuk rakyat Jakarta. PR nya memang segudang, tapi itu malah asyik, asal tujuannya mulia.
Cindy: Bicara komunikasi, Basuki Tjahaja Purnama terkenal meledak-ledak, orangnya ceplas-ceplos, bagaimana dengan gaya Anda?
Djarot: Saya mungkin agak kalem. Ceplas-ceplos Jawa Timur itu beda. Ngobrol dengan enak. Kadang-kadang situasi non formal itu bisa memecahkan kebuntuan dan kebekuan.
Sebagai wakil harus kompak dengan gubernurnya. Supaya langgeng dan sinergis. Kalau pemimpinnya kompak dan bersatu, rakyat akan menilai, birokrasi akan melihat, sehingga gotong-royong akan bisa digerakkan lebih cepat.
—-
DJAROT Saiful Hidayat. Lahir di Magelang, 30 Oktober 1962, pada Pemilu 2014 terpilih menjadi salah satu anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Selain itu, ia pernah menjabat sebagai Ketua Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Timur dari tahun 1999 sampai 2000. Sebelum berkecimpung sebagai aktivis politik, Djarot Saiful Hidayat menjadi dosen di Universitas 17 Agustus 1945, Surabaya dan menjabat Pembantu Rektor I Untag Surabaya pada 1997 hingga 1999.
Djarot, menimba ilmu di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Malang, Ia kemudian melanjutkan pendidikannya dengan terdaftar sebagai mahasiswa di Fakultas Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hingga memperoleh gelar Magister (S2) pada 1991.
Pernah menjabat sebagai Walikota Blitar selama dua periode, Djarot sangat membatasi kehidupan metropolitan yang serba mewah di kotanya, seperti berdirinya pusat perbelanjaan modern dan gedung-gedung pencakar langit. Ia lebih suka menata pedagang kaki lima yang mendominasi roda perekonomian di kotanya.
Dengan konsep matang yang telah ia rencanakan, Djarot berhasil menata ribuan pedagang kaki lima yang dulunya kumuh di kompleks alun-alun kota menjadi tertata rapi. Rencana yang ia terapkan ternyata berhasil mendongkrak perekonomian di Blitar, tanpa adanya mall dan supermarket layaknya di kota-kota besar. Djarot dikenal warganya sebagai wali kota yang merakyat, sederhana, dan gemar blusukan untuk melihat kondisi langsung di lapangan. Bahkan di saat pejabat daerah lain menggunakan mobil terbaru, ia lebih memilih menggunakan sepeda untuk melihat kondisi langsung rakyatnya. Kota Blitar di bawah kepemimpinannya tiga kali mendapat Adipura berturut-turut yakni pada tahun 2006, 2007, dan 2008 dan Upakarti (2007).
Atas kontribusi positif yang telah ia buat sebagai seorang wali kota, ia mendapat penghargaan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah pada tahun 2008. Kota Blitar di era Djarot juga mendapatkan penghargaan terbaik Citizen’s Charter bidang kesehatan serta peringkat pertama dalam penerapan E-Government di Jawa Timur.