Salah satu tantangan jurnalis, dalam platform apapun, adalah membawa audiens seolah berada langsung di tengah kejadian yang dilaporkannya. Dalam jurnalisme televisi, peran natural sound begitu penting untuk membawa kegemuruhan peristiwa itu ke rumah pemirsa.
Liputan suasana pertandingan Indonesia melawan Brunei Darussalam yang dilaporkan Octi Sundari, Ngesti Sekar Dewi, Ardila Putri, dan Nada Nisrina sebagai pengerjaan Ujian Tengah Semester mata kuliah Jurnalistik Televisi Universitas Multimedia Nusantara (UMN) berhasil membawa atmosfer langsung Gelora Bung Karno ke hadapan pemirsa.
Keunggulan karya ini, setelah dibuka dengan lead paket oleh presenter Octi di ‘studio’ cukup keren –idenya boleh juga, berlatar jendela menampilkan pepohonan di taman, yakni visual kegembiraan para suporter. Beauty shots sorak-sorai, dengan natural sound terdengar jelas di situ, membuat paket liputan mereka tampak hidup.
Perpaduan antara gambar milik sendiri –menyorot kegembiraan suporter- dan nukilan jalannya pertandingan yang hak siarnya dimiliki RCTI memang sah-sah saja. Sedikit masukan, seperti pernah dibahas di resume karya sepakbola lainnya, penyebutan angka ‘kosong’ di dunia olahraga sebaiknya diganti dengan ‘nol’, karena kosong berarti hampa. Sebagaimana istilah internasional dalam bahasa Inggris pun memakai ‘nol’, ‘nil’ dan bukan ‘zero’.
Sebagai reporter di lokasi, Nada tampil percaya diri. Terlepas kekurangan dalam pengambilan gambar, yakni head room atau batas frame atas dengan kepala reporter yang terlalu pendek. Saat Nada menyampaikan, “Saat ini saya sudah bersama salah satu suporter timnas Indonesia…” menjadi janggal karena ternyata yang muncul di layar dua orang suporter, yakni Haris dan Yusuf.
Dari sisi pengambilan gambar, ‘penampakan’ para pendukung timnas itu cenderung terlambat. Posisi (blocking) mereka dengan Nada juga terlalu jauh. Pada kasus seperti ini, kalau memang posisi mereka sudah ditata dalam jarak dekat yang ideal, baiknya bukan reporter yang bergerak berjalan mendekati narasumber. Tetaplah di tempat, dan biarkan kamera yang moving, pan kanan ke arah obyek yang ditentukan, dalam waktu yang tepat. Di luar kekurangan itu, munculnya insert pertandingan di tengah wawancara merupakan keputusan yang cerdas. Tapi, visual penonton keluar stadion sebagai penutup live –ditambah suara ‘bocor’- menjadi pertanyaan dan kekurangan tersendiri dari paket yang keren ini.
Kesan liputan
Tim ini berkisah, dalam proses liputan di Gelora Bung Karno pada 29 Maret lalu, hal utama yang menjadi kesulitan yakni persoalan mencari narasumber. “Banyak gangguan, seperti teriakan dukungan dari para supporter yang di luar stadion, membuat kami harus berulang kali mengambil gambar,” kata Ngesti.
Di dalam stadion, mereka berinovasi karena rencana menampilkan konsep keramaian suporter, terkendala besarnya noise yang kemudian diganti dengan euforia kemenangan suporter. “Pada saat editing, kami mengalami kendala pada kesalahan format kamera. Alhasil, ada gambar yang terpotong,” jelas Ardila.
Octi memaparkan, senjata mereka yakni dua kamera DSLR Canon tipe 600D, satu tripod dan dua ponsel untuk merekam suara. “Kami sangat terkesan mendapati euphoria suporter yang sangat tinggi, karena kami semua baru pertama kali menonton bola secara langsung,” ungkap Nada.