Gaza, Perlawanan dan Kehormatan: Faisal dan Bukunya yang Bercerita

Ini buku ketiga, tapi inilah masterpiece seorang Faisal Assegaf, yang kini mempopulerkan istilah ‘Hamaslovers’ di Indonesia.

Gaza, buku ketiga Faisal Assegaf. Enak dibaca dan bercerita.
Gaza, buku ketiga Faisal Assegaf. Enak dibaca dan bercerita.

Saya mengenal Faisal Assegaf sebagai seorang kawan seperguruan di Tempo, sebuah institusi terhormat di ranah jurnalisme Indonesia. Dia kerap mengaku bukanlah murid yang baik di ‘sekolah’ itu. Jarang datang rapat, dan tingkahnya seenak sendiri. Tapi, soal proses dan hasil kadang tidak mesti seiring dan sebangun. Di balik kebengalannya itu, Faisal membelalakkan mata para penggede saat wawancara eksklusifnya muncul di koran keesokan hari. Ia bukanlah seorang yang banyak omong, tapi dari bicaranya yang sedikit itu, orang haruslah percaya. “Ramos Horta kalau ke Jakarta selalu telpon gue, Jo,” itu salah satunya. Tak ada nada sombong di sana.

Dan, untuk menunjukkan kehebatannya, bacalah halaman-halaman belakang buku ‘Gaza, Simbol Perlawanan dan Kehormatan’. Mengapa halaman belakang? Karena di halaman 172-174 itulah tertera daftar bagaimana Faisal mewawancarai narasumbernya, baik saat bersua maupun melalui sambungan telepon.

Dalam buku ketiga terbitan 2014 –setelah Ironi Palestina (2010) dan Rahasia Muammar al-Qaddai (2011), Faisal juga menunjukkan dirinya bukanlah seorang yang narsis. Pria yang tak memiliki akun facebook ini tak menampilkan selembar foto pun saat dirinya berada di Mesir maupun Palestina.

Padahal, menembus Palestina melalui lorong rahasia, dan kemudian mengontak tokoh-tokoh besar pejuang di sana, bukanlah hal biasa. Istimewa. Lebih spesial karena ia memberi konteks pada setiap cerita. Tengoklah bagaimana pendiri albalad.co ini berkisah menjelang masuk ke terowongan buatan Hamas yang dilintasi dengan ‘tiket’ seharga 200 dolar AS:

Faisal bersama Wapres Iran Hojatul Islam Hajali Akbari. Sumber eksklusif. (Foto: Tem[po)
Faisal bersama Wapres Iran Hojatul Islam Hajali Akbari. Sumber eksklusif. (Foto: Tem[po)
Nyali mulai menciut, kebimbangan menyelimuti saya. Pikiran saya terbayang jauh ke orang tua, isteri dan putra saya. Apalagi terowongan itu cuma sedalam dua meter dan kanan kirinya hanya dilapisi papan. Sekali kena rudal, saya yakin bisa runtuh. “Berani nggak yah, apa mending batalin,” ujar suara hati.

Penduduk sekitar biasa menyeberang lewat terowongan itu. Lorong bawah tanah yang akan saya lewati dibangun sembilan tahun lalu. Artinya jauh sebelum Israel memblokade Jalur Gaza pada pertengahan 2007. “Kamu nggak usah takut, aman kok,” kata Hamdi seolah memahami kecemasan saya. “Setahu saya, Anda orang Indonesia pertama yang masuk ke Gaza lewat terowongan.”

Faisal melakukannya. Demi sebuah cerita. Demi sebuah pengalaman nyata. Karena ia tak mau dinyinyiri dengan ledekan, “Dukung Palestina tapi nggak pernah ke sana.”

Maka, nikmatilah buku ini -yang dipasarkannya sendiri, dan reguklah orisinalitas kisah sebuah negara bernama Palestina. Bagaimana di sana nyawa seperti tak ada harganya. Tapi di situ pula terbentang sebuah mimpi dan harga diri. Seperti sebuah poster yang dilihat langsung Faisal, bergambar mendiang pemimpin PLO (Organisasi Pembebasan Palestina) Yaser Arafat dilengkapi slogan bertulisan, “Mimpi saya belum lengkap tanpa kamu, Yerusalem!”

Teruslah bercerita Faisal. Mengembara di dunia yang tak banyak kita lihat.

Leave a Reply

Your email address will not be published.