Syair-syair dari Padang Sabana

Tayang di Koran Tempo Minggu, 7 Juni 2015

resensiKTJudul Buku           : Antologi Puisi

“Gemerisik Ilalang Padang Sabana”

Penulis                  : Agust Dapa Loka

Kata Pengantar    : Dr. Anies Baswedan

Editor                            : Emanuel Dapa Loka

Tebal                    : XXI+96 Halaman

Penerbit                : Altheras Publishing, Jakarta, 2015

Ada yang unik dari penerbit buku ini. Dalam pengantar penerbit tersua judul Selamat Datang Kembali, Puisi. Pertanyaannya, ke manakah gerangan genre susastra bernama puisi itu? Rupanya, penerbit menyadari bahwa setidaknya, dalam sepuluh tahun terakhir ini, sudah sangat jarang penerbit, terutama penerbit besar menerbitkan buku puisi.

Apakah dengan begitu, tidak ada lagi penggemar puisi? Barangkali benar bahwa dari sisi bisnis, buku antologi puisi kurang memberi keuntungan. Namun tidak berarti, kenyataan tersebut mengesahkan kematian dunia puisi. Tidak! Puisi tak bisa mati. Penyuka puisi tetap ada, sebab puisi memiliki peran tersendiri, yakni mengasah daya refleksi dan menghidupkan serta menggerakkan jiwa.

Agust Dapa Loka (kanan, penulis puisi). Pesan mendalam.
Agust Dapa Loka (kanan, penulis puisi). Pesan mendalam.

Penerbit “Altheras Publishing” yakin bahwa sampai kapan pun peminat puisi tetap ada, meski jumlah mereka “tidak banyak”. Dan Altheras ingin melayani mereka yang sedikit ini. “Persis pada posisi ini, kami mengeluarkan buku jenis ini untuk mengisi kekosongan (ini). Kami ingin melayani kebutuhan mereka yang sedikit itu. Kami yakin masih (cukup) banyak pembaca yang suka bacaan singkat, indah, dan reflektif” (hal vi).

Seperti dikatakan Bertrand Russel, melalui puisi, sang penyair ingin menyampaikan begitu banyak hal dalam jiwanya secara ringkas, padat, mudah dimengerti, memikat secara estetis, dan melahirkan ekspresi-ekspresi kedalaman penghayatan.

Dalam puisi tersimpan pesan mendalam yang keluar dari dasar batin. Tulis Kahlil Gibran, penyair Libanon, puisi bukanlah pendapat yang diungkapkan. Puisi adalah lagu yang muncul dari luka yang berdarah atau bibir yang tersenyum.

Inspirasi Sabana

Antologi puisi Gemerisik Ilalang Padang Sabana ditulis oleh Agust Dapa Loka, seorang guru dan novelis dari Sumba, NTT. Sumba adalah sebuah pulau yang terletak di sebelah Tenggara Indonesia dengan luas mencapai 11 km2 dan sebagian wilayahnya didominasi oleh padang sabana. Pada musim kemarau padang itu terlihat sangat kering dan tandus, dan baru pada musim hujanlah ia menjadi hijau dan memancarkan aura kehidupan. Sumba memiliki 4 kabupaten, yaitu Sumba Timur, Sumba Barat, Sumba Tengah, dan Sumba Barat Daya.

Di Provinsi NTT sendiri, Sumba termasuk wilayah yang miskin. Salah satu indikasinya adalah ranking Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 4 kabupaten di Sumba berada pada posisi 17-20 dari 21 kabupaten yang berada di NTT (BPS NTT, 2013).

Di wilayah yang cenderung kering dan miskin inilah Agust Dapa Loka, tinggal. Sebagai seorang penyair, ia coba merefleksikan kondisi pulau dan pergulatan batin anak-anak manusia yang ada di dalamnya dengan menyatakan: Gemerisik ilalang padang sabana/ adalah nyanyian suara parau kaum tertindas/ lama tertatih pada langkah kehidupan yang selalu kandas/ saat berburu janji yang selalu ditunda//

COVER bukuAtau pada bagian lain ia mengatakan: Gemerisik ilalang padang sabana/ adalah sejumput kegelisihan anak-anak desa/ menyaksikan tebak-tebakan di televisi demi hadiah berjuta-juta/ yang tak perlu dicari berhari-hari/berminggu-minggu/ bertahun-tahun//

Meski begitu, Agust berusaha meyakinkan bahwa orang-orang Sumba, betapa pun mereka hidup dalam kemiskinan, bukanlah orang yang mudah menyerah. Ia mengatakan: Gemerisik ilalang padang sabana adalah tekad yang tak bisa mati/ sebelum puisiku dikubur bersama/di ujung tanah yang sudah lama menanti.

Dalam Antologi Puisi ini, pemenang NTT Academia Award 2012 bidang humaniora melalui novelnya Perempuan Itu Bermata Saga (Elex media Komputindo, 2011) tersebut sedikitnya menyertakan 61 puisi yang mengusung berbagai tema. Mulai dari urusan bernegara, keprihatinannya terhadap pengrusakan lingkungan hidup, kepercayaannya kepada kehadiran Allah, kasih sayang seorang ayah kepada anak-anaknya, hingga refleksi terhadap tragedi hidupnya sendiri. Kekuatan utama dari puisi-puisi Agust adalah kesederhanaan kata-katanya dan pesan moral yang coba ia tawarkan.

Seperti pada puisi berjudul Catatan Rakyat. Dalam puisi ini Agust berusaha mengingatkan pada pemimpin negeri ini untuk peduli kebutuhan dan harapan rakyat. Ia menulis: Sudahlah/ sejatinya kamu perlu tahu bahwa yang kami minta beri kami suasana damai// Jangan ribut terlalu kencang…/Ingat/ kamu bukan pecundang rakyat// (hal 40-41).

Sebagai seorang ayah, Agust menuliskan sebuah puisi yang sangat intim. Anakku/ sejak kau bisa bergurau di atas ranjang aku dan ibumu/ aku semakin serius berburu hidup/ sebab tidak mungkin kau hidup karena mimpiku// Aku dicambuk oleh sinar matamu yang menerka cahaya bulan// (hal 61)

Membaca puisi-puisi Agust Dapa Loka, kita bukan hanya dihibur dengan untaian kata-kata yang penuh estetika, juga tertantang oleh gugatan-gugatan seorang anak desa terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara yang sering kali hanya dimonopoli oleh para elit dan tak jarang keluar dari semangat menyejahterahkan rakyat. Namun di balik gugatannya itu, Agust menawarkan bahasa cinta, tentang kesetiaan, tentang seorang ayah dan ibu yang harus mencintai anak-anaknya, bahkan alam yang ada di sekitarnya.

 Jojo Raharjo, jurnalis, penikmat buku

Leave a Reply

Your email address will not be published.