Sebuah gambar bisa bicara lebih dari seribu kata. Apalagi dalam berita televisi, dengan gambar bergerak alias video. Baiknya ambil gambar secantik mungkin. Jangan ragu untuk mengulang.
Dalam pengerjaan take home test Ujian Akhir Semester mata kuliah Teknik Presentasi Media Elektronik Universitas Bakrie berupa live report penjual takjil di bulan Ramadhan, Dimas Muchli, Fitriyah, Muhammad Afwan Nur, dan Viviet Sandra mengambil lokasi di Kawasan Bukit Duri, Jakarta Selatan. Mereka mengambil keputusan berani, karena dengan komposisi anggota kelompok dua cowok dan dua cewek, baik presenter maupun reporter lapangannya dipercayakan kepada duo Afwan dan Dimas, sementara Fitri mengambil peran produser dan Viviet sebagai juru kamera.
Penampilan Dimas di lapangan, as always, tampil cair dan penuh keceriaan, sementara Afwan agak lemes dan terlalu pelit mengantarkan lead live. Seharusnya bisa memberi pengantar lebih panjang dari studio sebelum terburu ‘toss’ ke reporter. Kritik pada pengambilan gambar live report, juru kamera dituntut lebih kreatif. Terutama pada angle-angle sulit, misalnya saat reporter moving, berjalan dari posisi stand-up awal ke lokasi penjual makanan. Jangan terlalu banyak mengambil gambar punggung.
Pun saat wawancara dilakukan, wajah penjual makanan sering terlihat pada satu sisi di samping (kerap disebut sebagai gambar ‘wayang’ karena hanya satu matanya yang terlihat). Pada kasus ini, beranilah mengambil gambar lebih dekat, dan membidik ekspresi narasumber lebih detail. Masuk ke scene percakapan antara reporter ke narasumber, jangan terus ambil two shot atau group shot yang menampilkan wajah mereka berdua. Jangan ragu fokus one shot ke wajah narasumber saja. Jangan segan-segan mengulang take adegan kalau merasa ada yang belum puas dari sudut pengambilan gambar, posisi, atau salah-salah kata dari kedua belah pihak. Apalagi ini kan bukan live beneran yang benar-benar tak bisa di-retake.
Pemilihan lokasi. Mengapa Pasar Bukit Duri? Jika kelompok lain dengan topik yang sama mengambil lokasi penjualan takjil di Bendungan Hilir, Masjid Sunda Kelapa, dan Menteng Atas, bukan berarti harus di tempat itu-itu juga. Persoalannya, mengapa Bukit Duri yang dipilih? Selain bisa dijawab melalui CG atau teks di layar -menjadi salah satu kekurangan utama kelompok ini- baiknya tampilkan pula wide shot pedagang takjil di Bukit Duri dalam jumlah lebih massif. Atau kerumunan calon pembeli menjelang masa berbuka. Yakinkan pemirsa bahwa lokasi ini merupakan salah satu spot paling ‘wah’ di Jakarta selama bulan Ramadhan.
Di balik layar peliputan
Viviet berkisah, penentuan tempat Bukit Duri sebagai lokasi liputan diputuskan melalui survei sehari sebelumnya. Wah, ini tentu sebuah perencanaan yang sangat ‘mahal’.
“Menyadari tempat jualan takjil di situ sangat ramai dan ada di pinggir jalan raya, kami memutuskan take di situ keesokan harinya,” kata Fitri, sang produser. Sayang, eksplorasi tempat yang seharusnya memiliki kelebihan dibanding titik-titik lain di Jakarta kurang terwujud dalam visual mereka. Ia menambahkan, ada beberapa kendala saat pengambilan gambar benar-benar dilakukan. “Keadaan jalan yang benar-benar ramai, dengan orang berlalu-lalang ingin membeli takjil membuat kami harus pintar untuk mencari celah dalam melakukan liputan,” papar Fitri.
Itulah tantangangan peliputan, khususnya liputan di tengah crowd atau kerumunan. Tak hanya dari dalam diri –memastikan tidak grogi dan benar-benar menguasai materi- tapi juga menyelesaikan problem dari luar. Di sinilah fungsi kerjasama antara reporter, juru kamera, dan field producer. Bagaimanapun, kerja jurnalisme televisi adalah kerja tim!