Dua belas tahun berselang, Cristiano Ronaldo kembali di final Piala Eropa. Kalau 2004 tampil penuh tapi gagal membawa pulang piala, kini ia meringis di menit ke-25 karena cedera. Berakhirkah semuanya?
http://www.youtube.com/watch?v=6RhtGm6onkg
Cristiano Ronaldo –kemudian akrab dengan panggilan CR7- baru berumur 19 tahun saat tampil di final Piala Eropa 2004 di depan 62.865 penonton Estadio do Sport Lisboa e Benfica di kota Lisbon, Portugal. Segala mimpi indah membawa pulang piala Henri Delaunay di muka pendukungnya sirna. Sundulan penyerang Yunani Angelos Charisteas ke gawang Ricardo mengakhiri segala rencana pesta tim Samba Eropa.
Kata orang, kesempatan tak datang dua kali. Tapi bagi Ronaldo, dua belas tahun kemudian, peluang itu kembali tiba. Umurnya sudah 31 tahun. Pencapaiannya di tingkat klub menghasilkan tiga jelar juara Liga Champions Eropa, satu bersama Manchester United dan dua berkostum Real Madrid. Tapi, sebagai pemain tim nasional, CR7 masih senasib dengan Lionel Messi yang dianggap wanprestasi bagi negaranya.
Dan second chance itu hadir pada 10 Juli 2016. Kali ini di depan 75.868 pasang mata di Stade de France. Kalau dulu menjadi tuan rumah, kini melawan tuan rumah, yang tentu sudah menyiapkan pesta pora juara di kawasan Menara Eiffel, Champs-Élysées, dan sekitarnya.
Tapi, apes tak dapat ditolak. Baru separuh babak pertama, Ronaldo harus keluar lapangan setelah lututnya bermasalah akibat benturan dengan bintang Perancis, Dimitri Payet. Di sinilah, nyali Ronaldo diuji. Sebagai kapten tim, ban pemimpin lapangan memang diberikan kepada Luís Carlos Almeida da Cunha alias Nani. Namun, CR7 tetap mengambil kendali kepemimpinan di luar lapangan.
“Dengar kalian, saya yakin kita akan menang. Jadi, tetap kompak dan berjuanglah,” begitu CR7 berapi-api memberi semangat pada teman-temannya, seperti ditirukan bek Cedric Soares. Di pinggir lapangan, CR7 mendampingi pelatih Fernando Santos: berteriak, mengarahkan tangan, melompat, sedih dan bersuka bersama kesebelas prajurit Portugal di medan perang Saint-Denis.
Pada akhirnya, Portugal menjungkalkan mimpi tuan rumah. Eder pencetak gol tunggal di babak tambahan waktu. Rui Patricio sang kiper menjadi man of the match. Tapi, bintang sesungguhnya adalah ‘kapten tak bermain penuh’ Cristiano Ronaldo.
Karena keberhasilan bukan kebetulan
Harian Kompas, 11 Juli 2016 menurunkan tulisan Franz Beckenbauer. Sang ‘Kaisar’ berkisah, suatu saat ia menghabiskan waktu bersama Alex Ferguson, pelatih legendaris Manchester United, di mana ketika itu Ronaldo tergabung. Sir Alex mengatakan kepada Beckenbauer, “Franz, Anda tidak bisa membayangkan pemain yang bekerja lebih keras daripada Ronaldo. Apakah itu sebelum laga, atau sesudahnya, di hari-hari rutin, dia melatih dribelnya, tendangan bebasnya. Ketika bakat, kemauan kuat, dan kerja keras hadir bersama, ketika itu pulalah Anda mendapatkan pemain kelas dunia.”
Di usia senja karirnya, Ronaldo menunjukkan kelas kepemimpinannya. Pemimpin bukan mereka yang menyerah saat kekecewaan tiba di awal perjuangan. Pemimpin bukan orang yang berpikir, “Ah, mereka tak akan sukses tanpa aku.” Pemimpin bukan mereka yang senang melihat orang susah dan susah melihat temannya senang.
Akhirnya, CR7 mengangkat piala yang gagal direngkuhnya dua belas tahun silam. Bak pedagang kue apem, diboyongnya supremasi juara Eropa di atas kepala. Bukan berstatus tim unggulan, hanya tiga kali seri di fase grup dan gagal menang di dua laga pertama babak knock-out. Tapi, itulah sepakbola. Kombinasi antara kerja-keras, keberuntungan dan semangat pantang menyerah.
Obrigado untuk semua pelajarannya, Cristiano Ronaldo dos Santos Aveiro…