JAKARTA– Lima bulan lagi, pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak kembali digelar di Indonesia. Kalau pada 9 Desember 2015 pilkada serentak berlangsung di 269 daerah; sembilan provinsi dan 254 kabupaten/kota, maka tahun depan akan ada pemilihan langsung di 101 daerah; 7 provinsi dan 94 kabupaten/kota.
Mengantipasi potensi konflik dan kerawanan pada pilkada mendatang, Kedeputian V Kantor Staf Presiden menggelar diskusi terbatas yang dihadiri Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Muhammad, Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris, mantan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan, peneliti CSIS Arya Fernandes dan Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini.
Muhammad menjelaskan, Bawaslu telah melakukan pemetaan dengan membuat Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) terhadap 101 daerah yang akan menggelar pilkada pada 15 Februari 2017. Tiga dimensi yang diukur dalam IKP adalah penyelenggaraan, kontestasi, dan partisipasi.
“Hasilnya ada tingkat kerawanan tinggi, sedang, rendah. Daerah dengan tingkat kerawanan tinggi di antaranya Papua Barat, Aceh, dan Banten. Selain tiga wilayah tersebut, yang lain dikategorikan rawan sedang dan rendah,” katanya.
Ia mencontohkan, Aceh memiliki tingkat kerawanan dari segi penyelenggara dan kontestasi. Penyelenggaraan berkaitan dengan integritas penyelenggara, profesionalitas, dan kekerasan terhadap penyelenggara. Sementara kontestasi berhubungan dengan pencalonan, kampanye, dan kontestan.
“Potensi kerawanan dalam partisipasi atau keterlibatan warga juga sangat penting,” tambahnya.
Pemetaan IKP ini sangat penting untuk mengetahui mana daerah yang berpotensi rawan. Sehingga pemerintah dapat mengantisipasi sejak awal dan membuat early warning system.
“Pemilu bukan hal yang baru bagi kita. Dengan menerapkan indeks kerawanan lebih awal, para pihak mengetahui potensi itu. Para gubernur, bupati jangan berkecil hati mendapat rapor merah. Ini dorongan dan antisipasi agar lebih baik,” katanya.
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris mengapresiasi indeks kerawanan yang dirilis Bawaslu. Ia menambahkan, tiga hal penting juga yang perlu mendapat perhatian agar bisa meminimalisasi konflik, yaitu penyelenggara yang tidak profesional, tidak independen, dan tidak tegas. Kemudian mobilisasi yang dilakukan elite politik lokal dan potensi konflik yang bersumber pada regulasi yang multitafsir.
“Salah satunya berkaitan dengan politik uang. Memberikan uang makan dan transpor tidak termasuk kategori politik uang. Ini bisa disalahgunakan pasangan calon atau timses sehingga membuka potensi kerawanan pilkada,” katanya.
Ia membagi peta waktu potensi konflik pilkada serentak pada tiga tahapan. Pertama, tahap verifikasi pasangan calon oleh KPUD. “Pada tahap ini, banyak aksi massa dilakukan terutama oleh pendukung kandidat yang tidak lolos verifikasi. KPUD seringkali dinilai berpihak atau tidak independen,” paparnya. Kedua, tahap pelaksanaan pemungutan/pemberian suara. Dan, ketiga, tahap pengumuman hasil Pilkada.
Aksi massa terutama dilakukan oleh pendukung dan atau tim sukses pasangan calon yang kalah dalam pemilihan. Protes dilakukan dengan beragam alasan, misalnya kecurangan sampai tuduhan KPUD tidak adil.
Syamsuddin menegaskan, perlu penataan kelembagaan agar demokrasi lokal tidak sekadar prosedural, tetapi juga melahirkan pemerintahan lokal yang efektif, responsif, dan akuntabel. Selain itu, perlu penataan menyeluruh terhadap desain sistem pemilu serta skema penyelenggaraan pemilu. “Sehingga ke depan hanya ada dua momentum pemilu, yakni pemilu serentak nasional dan pemilu serentak lokal agar tercipta efektifitas dan sinergi pemerintahan dari pusat hingga daerah,” kata Syamsuddin.
Sementara Maruarar Siahaan menilai sumber kerawanan bisa disebabkan oleh perundang-undangan yang terus menerus berubah sehinga menimbulkan perbedaan tafsir, kemudian pengawasan dan penegakan hukum yang belum maksimal. “Terutama money politic. Kalau sudah ada bukti, harus langsung ditindak,” ujarnya.
Titi Anggraini menggarisbawahi besarnya potensi konflik yang muncul saat calon petahana kembali maju dalam pilkada, baik dalam paket duet yang sama atau ketika kepala daerah dan wakilnya ‘pecah kongsi’. “Potensi rentan konflik semakin besar saat berhadapan muncul ‘politik dinasti’ di daerah itu,” kata Titi. Ia memaparkan pada pilkada serentak 2015, ada 144 petahana maju dalam pilkada, dengan 48 di antaranya kembali menang dan 96 petahana kalah.
Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki menyatakan, Presiden Joko Widodo berharap mutu penyelenggaraan pilkada serentak mengalami kemajuan. “Masukan para ahli dalam diskusi ini sangat penting untuk perbaikan penyelenggaraan pilkada,” kata Teten.
Deputi V Kantor Staf Kepresidenan Jaleswari Pramodharwardani mengungkapkan, diskusi terkait kesiapan pemerintah menghadapi pilkada serentak akan berlangsung rutin. “Agenda pertemuan berikutnya, kami akan mendiskusikan mengenai RUU Pemilu yang segera dibahas bersama antara DPR dan pemerintah,” kata Jaleswari.