Asian Games 2018 adalah sejarah besar bangsa ini. Dua kali kita menjadi tuan rumah pesta olahraga bangsa-bangsa se-Asia. Pertama, Asian Games IV 1962 di era Presiden Soekarno. Di tengah krisis, Bung Karno menekankan bahwa, “Berapapun biaya yang harus dikeluarkan, tidak menjadi masalah asalkan harga diri dan martabat Indonesia di mata dunia diakui”.
Warisannya jelas: Asian Games 1962 melahirkan berbagai heritage komplek Gelanggang Olahraga (Gelora) Bung Karno –meliputi Stadion Utama, Istana Olahraga (Istora), Stadion Madya, Stadion Tenis, Stadion Renang, dan Gedung Bola Basket. Di luar fasilitas olahraga, berdiri juga TVRI, Jembatan Semanggi, Hotel Indonesia dan patung ‘Selamat Datang’ di Jl MH Thamrin, sebagai bentuk simbolis penyambutan tamu-tamu mancanegara.
2018, Insyaallah, kalau Tuhan mengizinkan lancar, kita akan kembali menjadi tuan rumah, menjamu 15 ribu atlet dan ofisial dari 45 negara peserta. Tak hanya Jakarta, Sumatera Selatan pun bersiap menjadi saksi sejarah.
Maka, kami pun menuju Plembang. Kota yang dikenal sebagai ‘daerah penghasil kapal selam terbesar di dunia’. Dari Gelora Jakabaring, Pasar Cinde, sampai Benteng Kuto Besak di tepian Sungai Musi, ‘Wong Kito Galo’ menyuarakan rasa bangga dan harapannya dipercaya menjadi sorotan mata benua terbesar di dunia ini.
Seiring tekad Indonesia sentris, bahwa pembangunan itu tak hanya berlangsung di Pulau Jawa, girang Bumi Sriwijaya membuncah menyambut inci demi inci kemajuan proyek Light Rail Transit (LRT) yang disiapkan sebagai transportasi pendukung dari Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II menuju Jakabaring.
Bangga, karena Indonesia bukan hanya Jakarta…