Bangsa yang Terlahir dengan DNA sebagai Pekerja Keras

Apa lagi yang perlu dijelaskan tentang Jepang?

Turnamen BWF World Tour Finals 2019 -sebagai puncak rangkaian kejuaraan bulutangkis dunia selama setahun- baru berakhir.

Dari lima nomor, Jepang menempatkan tiga wakil di final. Pebulutangkis tunggal putra nomor satu, Kenta Momota sukses mempertahankan citra jadi yang terbaik setelah menyudahi pertemuan fenomenal ‘Momogi’ melawan rivalnya, Anthony Sinisuka Ginting. Meski nama tengahnya ‘Sinisuka’, lawan Momota sesungguhnya berasal dari Karo.

Dua representasi Jepang lainnya ada di final nomor ganda putri dan putra. Pasangan Mayu Matsumoto/Wakana Nagahara dan Hiroyuki Endo/Yuta Watanabe memang keok dari ganda putri China dan pasangan ‘The Daddies’ Indonesia. Tapi, menempatkan tiga duta di final menunjukkan Jepang bukan negara kaleng-kaleng di ajang bulutangkis.

Oh ya, ingat dong adegan saat Hiroyuki Endo nyemash kok lalu kena badan Mohammad Ahsan hingga menyamakan angka jadi 12-12 di game pertama final BWF di Guangzhou kemarin? Endo spontan mengangkat tangan kiri seolah tanda minta maaf. Sopan banget ya…

Sepakbola juga membuat mereka bangga. Perhelatan Piala Dunia 2018 membawa tim negeri samurai ke level 16 besar. Sempat unggul 2-0 dari Belgia, Makoto Hasebe dkk kena comeback, lalu tersingkir dengan skor 2-3 dari ‘Setan Merah Eropa’ yang kemudian jadi juara ketiga.

Toh setelah itu, talenta muda Jepang terus lahir dari lapangan bola. Seperti Takumi Minamino yang bulan depan mengawali petualangan di Liga Primer Inggris berjersey Liverpool.

Demikian pula di cabang olahraga lain. Totalitas bak nama tengah bagi para atlet Jepang. Rikako Ikee perenang penyabet medali terbanyak enam emas dan dua perak di Asian Games 2018 Jakarta, Hiroto Inoue sang jawara maraton, atau Kei Nishikori, Yuichi Sugita, Naomi Osaka, Ena Shibahara dan Shuko Aoyama di geliat tenis lapangan.

Sukar menjelaskan mengapa bangsa ini begitu perkasa. Mungkin DNA-nya memang jagoan dan pekerja keras. Bangsa yang dikatakan Prabu Jayabaya sebagai ‘orang-orang kate berkulit kuning akan melepaskan pendudukan Indonesia dari kekejaman bangsa berkulit putih’.

Seketika teringat film ‘Midway’ yang baru saja beredar di layar XXI, bercerita tentang epik Perang Dunia di Lautan Pasifik. Begitu Jepang dinyatakan kalah oleh pasukan tempur udara dan laut Amerika Serikat, Laksamana Chuichi Nagumo memilih menyendiri. Ia mengakhiri hidupnya karena merasa tak bisa menjaga kehormatan kaisar. Lebih baik berputih tulang daripada berputih mata, lebih baik mati daripada hidup menanggung malu.

Bukan lelucon, di dekat Stadion Nasional Tokyo yang akan menjadi tempat pembukaan Olimpiade 2020, saya menyaksikan sendiri bapak-bapak separuh baya makan sambil berdiri. Demi mendapatkan santapan hidangan murah meriah, di waktu istirahat kerja nan sempit.

Masih ingat gambar viral suporter Jepang membersihkan sampah di stadion Piala Dunia Rusia dan memunguti puntung rokok di venues Asian Games 2018 Jakarta?

Saya menyaksikan sendiri para petugas penampung sampah menadahkan plastik usai partai play off J League digelar di Stadion Shonan BMW Hiratsuka.

Dan lain lain, dan lain lain. Termasuk mungkin gambar di ponsel Anda tentang anak-anak Jepang di bandara yang rajin membaca buku dan bukannya asyik melihat ponsel sebagai cara membunuh kebosanan kala menunggu jadwal penerbangan.

O ya, pagi tadi saya juga ditegur karena antre tidak pada urutannya saat berbaris menunggu giliran foto dengan patung Hachiko, anjing legendaris perlambang kesetiaan. Monumen Hachiko berdiri di Shibuya, Tokyo, sebagai apresiasi atas seekor anjing yang selama SEMBILAN tahun terus datang ke Stasiun Shibuya, menanti tuannya, Profesor Hidesaburo Ueno datang turun dari kereta seperti biasa.

Sang majikan tak pernah kembali, karena terkena serangan otak hingga meninggal dunia kala mengajar. Orang Jepang mengagungkan dan mematungkan Hachiko sebagai lambang pengabdian, loyalitas, dan kesetiaan.

Jepang, pekerja keras, yang dengan percaya diri pernah menyatakan sebagai ‘Pemimpin Asia’, ‘Pelindung Asia’ dan ‘Cahaya Asia’, padamu kami belajar.

Tentang karakter, tentang kepercayaan diri, tentang nilai kehidupan, dan tentang kerja keras melebihi yang lain. Sebagaimana falsafah Bushido Samurai mengajar penduduknya untuk gigih, rajin, dan berdisiplin tinggi.

Ogenki deshita ka? Apa kabar, baik-baik kah Anda selama ini?

Haik! Okagesama de. Ya, berkat rahmat Tuhan, saya baik-baik saja.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.