Pertengahan September 2019, mas Kukuh Kristianto mengajak bertemu. Kebetulan ia sedang di Bogor, untuk rapat kerja Sinode GBI. Sayang, karena saya pun sedang berfokus di Sentul menyelesaikan Laporan Lima Tahun Pemerintahan Jokowi-JK -saat itu masih menjadi Tenaga Ahli Komunikasi Politik Kantor Staf Presiden- kami urung bertemu di Bina Graha, Komplek Istana Kepresidenan.
Pun demikian, karena mas Kukuh merasa sangat perlu bertemu, ia datang ke Hotel Neo Green Savana Sentul City, tempat tim Laporan Lima Tahun KSP dikarantina. Mas Kukuh -beliau lengkapnya kini bergelar Pdm, Pendeta Muda- datang bersama Pdt. Soedjarwo dan Pdt. Joshua Mangiring Sinaga, sesama hamba Tuhan di Sinode GBI.
Saya kenal baik Pak Djarwo, karena pada 2004-2005 pernah membantu penerbitan Majalah Bethany, dari markasnya di Gereja Bethany Nginden. Karena Pak Djarwo pula, saya pernah ke Nias, menyambangi korban gempa di pulau kecil seberang Sumatera Utara itu. Bermobil belasan jam dari Medan sampai Sibolga, nyambung naik kapal tujuh jam ke Gunung Sitoli.
Masih terkait Bethany, kedatangan mas Kukuh dan Pak Djarwo lebih banyak curhat terkait polemik kepemimpinan di salah satu gereja terbesar di Asia Tenggara itu. Mereka ‘terusir’ dari Bethany. Senasib dengan kondisi yang menimpa Pdt. Dr. Abraham Alex Tanuseputra, juga korban konflik keluarga di sana.
Mas Kukuh, Pak Djarwo dan hamba-hamba Tuhan lain kini merintis pendirian sinode Gereja Betesda Indonesia, yang mulai didirikan di Sidoarjo bulan Oktober 2019. Sekarang prosesnya lagi mengurus Surat Keterangan Tanda Lapor (SKTL) Gereja dari Kemenag Provinsi Jatim.
“Syarat pendirian sinode baru salah satunya harus mempunyai 25 persen SKTL propinsi di Indonesia, jadi harus punya minimal 10 SKTL propinsi. Sekarang baru terkumpul 5 SKTL propinsi, yang lain masih proses. Nah di tengah perjuangan ini kok sudah ditinggal mas Kukuh pulang,” kata Pdt. Soedjarwo.
Di kafe sudut hotel itu, tak banyak yang bisa saya lakukan kecuali mendengar. Berharap agar jejaring politik dikuatkan. Terutama agar kelompok yang terdzolimi tak lagi jadi korban secara hukum.
Tapi, ah, tentang bagaimana berjejaring politik, tentu bukan hal yang tepat saya menggurui mas Kukuh, bapak satu anak duduk di kelas VI SD ini. Mas Kukuh menjabat Sekretaris Cabang Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia Surabaya 1997-1999, saat saya menjadi anggota di GMKI kota pahlawan. Kami sama-sama mahasiswa Universitas Airlangga. Pria asal Nganjuk itu dari Fakultas Ekonomi -seingat saya angkatan masuk 1992- sedangkan saya dari Ilmu Komunikasi Fisip 1995.
Saya hadir saat Konferensi Cabang GMKI yang memilihnya menjadi Sekretaris Cabang pada 1997, di rumah retreat ‘Hening Griya’, Jemur Andayani, Surabaya. Mas Kukuh terpilih mendampingi Wahyudi Wibowo yang kemudian menjabat Ketua Cabang GMKI Surabaya 1997-1999. Sebagai calon Sekcab, mas Kukuh mengalahkan Anton Santoso, mahasiswa Universitas Wijaya Kusuma, yang setahu saya juga sudah berpulang ke surga.
Meski asli Surabaya, saya cukup ‘minder’ berorganisasi, melihat kawan-kawan dari daerah yang begitu pede beretorika dan total dalam berkegiatan. Bagi saya, melihat perdebatan di markas GMKI seperti sebuah ‘sirkus’ tersendiri. Pantas, sampai akhir ber-GMKI saya tak pernah jadi pengurus inti. Mentok-mentok di bagian publikasi media.
Rasa minder itu juga melanda jelang pelaksanaan Kongres XXVI GMKI 1998 di Palu, Sulawesi Tengah. Tiba-tiba, dalam rapat di Student Centre Tegalsari, mas Kukuh mencetuskan nama, “JoUn, Jojo Unair” sebagai usulan nama peserta kongres dari Surabaya.
Memang saat itu di GMKI Surabaya dikenal dua nama Jojo. Jojo Raharjo alias Jojo Unair, dan satu lagi Jojo Rohi, dari kampus Universitas Wijaya Kusuma. “Jojo yang ngganteng, dan Jojo yang lebih ngganteng,” begitu kata Jojo Rohi, kini dikenal sebagai aktivis kepemiluan dari Komite Independen Pemantau Pemilu, membanggakan dirinya.
Saya kaget sekaligus tersanjung dengan pilihan mas Kukuh untuk memasukkan nama saya dalam delegasi kongres. Sayang, karena alasan terikat pekerjaan sebagai wartawan di Majalah ‘Tiang Api’, saya tak bisa memenuhi amanah itu. Pun demkian, saya mengingatnya sebagai pembuka jalan. Merekomendasikan orang.
Maka, dua hari lalu, sedang berjalan kaki di Jembatan Penyeberangan Orang Gelora Bung Karno usai meloncat dari Bus Transjakarta, saya melongo saat membaca berita di grup percakapan telepon pintar GMKI: Mas Kukuh meninggal dunia.
Bahwa ia dirawat di RSUD Sidoarjo selama beberapa hari lalu, sudah ramai terberitakan di berbagai grup. Belakangan diketahui, mas Kukuh mengalami hipokalemia, kondisi ketika tubuh kekurangan kalium atau potasium, yang dapat menyebabkan gangguan serius pada jantung. Mas Kukuh kemudian mengalami diare berkepanjangan, ditambah susah asupan makanan masuk. Kemungkinan karena tingginya asam lambung, juga dipicu stres karena perkembangan kurang baik dari kasus hukum gereja tempatnya melayani.
24 Oktober 2019, mas Kukuh sempat mengirim pesan:
“Shalom. Pagi Om Jojo. Selamat, bosnya om Jojo menempati kembali jabatannya. Kami berdoa & berharap sangat demikian jg dg Om Jojo segra kembali lagi ke istana dg promosi jabatan. Selamat melayani Om. Gb??”
Ketika saya jawab bahwa saya hanya memohon doa, semoga ada rekrutmen baru dan yang lama-lama diperhitungkan -faktanya kemudian saya tak masuk dalam Tim KSP yang baru- saat itu mas Kukuh menjawab, “Pasti rencana Dia indah, Om. Selamat.”
Jejak chat berikutnya masih ada. 12 November saya mengirim link berita dari kantor berita Antara. Judulnya, “Pengadilan Segera Eksekusi Pengurus Gereja Bethany Surabaya.” Mas Kukuh menjawabnya dengan menjelaskan kondisi terkini.
Begitupula saat 19 Desember saya memforward gambar tentang hilangnya seorang bernama ‘Leonard Limato’. Beliau menjelaskan posisinya, dan sempat menelpon melalui WA Call. Saya tak mengangkat, karena sedang di angkutan ojek online.
“Sori. Kupikir lebih enak call krn ceritane panjang,” tulisnya.
25 Desember mas Kukuh mengirim ucapan Natal dalam desain khusus. Kami berbalas ucapan.
Hingga, Rabu, 8 Januari, saya mengirim pertanyaan padanya yang terbaring di rumah sakit. “mas Kuh sakit apa? Adinda berdoa agar kanda lekas sembuh sehat pulih.”
Tak berbalas. Dan Jumat, 10 Januari kemarin, Tuhan -Sang Kepala Gerakan-memanggilmu pulang di usia 47 tahun.
Minggu, 12 Januari siang tadi, jenazah mas Kukuh dimakamkan di TPU Delta Praloyo, Sidoarjo. Diberangkatkan dari rumahnya di Graha Juanda. Dari foto-foto yang saya lihat, balutan bendera GMKI dan GAMKI mewarnai nuansa pemakaman itu.
Mas Kukuh, selamat jalan. Terimakasih untuk pengalaman dan pembelajaran totalitas berorganisasi. Kami percaya, Sang Kepala Gerakan, Sang Jehovah Jireh -Allah yang maha provisi, Providentia Dei, penyedia semuanya secara Ilahi, mencukupkan keluarga sampeyan…
Catatan: Terimakasih foto-fotonya teman-teman GMKI Surabaya. Maaf tak bisa ada di sana siang tadi…