“Saat kita harus melangkah
melanjutkan hidup mencari nafkah
bergelut kita di tengah wabah
jaga diri, jaga jarak, sayangi dirimu..
terserah, terserah, terserah maumu
mau cuek, mau takut itu pilihanmu..
terserah, terserah, terserah maumu
cari aman, cari mati, nyawamulah taruhannya..”
Lagu itu berjudul ‘Berjuang Di Tengah Wabah’, diciptakan oleh Dose Hudaya, diedarkan sebagai single oleh DH Production Indonesia.
Penyanyinya bernama Budi Cilok, dia seorang musisi yang punya diferensiasi khas: memiliki suara khas seperti Virgiawan Listanto alias Iwan Fals. Jadi, kalau mungkin sebuah event mau mengundang Iwan Fals, tapi mungkin tak punya cukup dana mengundang penyanyi balada legendaris tanah air itu, bisalah mengundang Budi Cilok. Setidaknya ‘Indonesia Lawyers Club’ dan konser ‘Semarak Indosiar’ pernah melakukannya.
Nama asli pria asal Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung ini adalah Budi Mulyono.
“Waktu kecil, kepala saya selalu botak sehingga selalu disebut mirip cilok,” kata Budi. Cilok merupakan penganan sehari-hari masyarakat Jawa Barat, terbuat dari tapioka nan kenyal disajikan dengan bumbu kacang, saus, dan kecap.
“Dulu saya sering mengamen di dalam angkot, jurusan Dayeuhkolot ke Banjaran atau sebaliknya dengan menyanyikan lagu-lagu Iwan Fals,” kata pria 43 tahun yang sudah menelurkan empat album ini.
Kini, Budi Cilok serasa benar-benar selevel dengan Iwan Fals. Idolanya itu memang lekat dengan lirik lagu bernuansa sosial, selain tema cinta tentu saja.
Selain tembang cinta yang kerap bersyair ‘nakal’, Iwan Fals punya sederet lagu berlatar kemasyarakatan seperti politik dan ktritik sosial. Sebutlah ‘Ethiopia’ terkait kelaparan di negara Afrika itu, ‘Surat Buat Wakil Rakyat’ menyindir para anggota DPR, ‘Manusia Setengah Dewa’ untuk presiden baru Indonesia, ‘Umar Bakrie’ terkait nasib guru yang selalu sendu, ‘Serdadu’ soal nasib tentara nan terlupa, atau ‘Ambulan Zig-Zag’ menyinggung buruknya pelayanan kesehatan.
Lagu ‘Berjuang di tengah Wabah’ yang dibawakan Budi Cilok memberikan makna atas Adaptasi Kebiasaan Baru atau New Normal di masa Covid-19. Tengoklah kata-katanya.
“terserah, terserah, terserah maumu
mau cuek, mau takut itu pilihanmu..
terserah, terserah, terserah maumu
cari aman, cari mati, nyawamulah taruhannya..”
Dalam sikap menghadapi Covid-19 ini secara umum memang publik dihadapkan pada dua pilihan: cuek atau takut.
Untuk yang cuek, bisa saja menafikan ancaman virus Corona nan mematikan dengan alasan bahwa pandemi ini hanya konspirasi antara negara besar, dengan organisasi kesehatan dunia, atau pun dengan pabrik vaksin dan orang-orang super kaya di belakangnya.
Mereka yang cuek juga kerap berujar bahwa tanpa Corona pun kita semua akan mati. Atau bertamengkan alasan-alasan lain, bahwa Covid hanya menyerang kalangan tertentu, dan orang bisa ‘kebal’ bila mengonsumsi makanan atau melakukan kebiasaan tertentu. Dalam hidup ini, semua sudah ada yang mengatur, katanya.
Sementara bagi mazhab yang ‘takut’, cenderung sangat berhati-hati. Berbulan-bulan tidak keluar rumah, karena taat pada peringatan dari pemerintah serta memiliki phobia sangat tinggi setiap menyaksikan berita terkait Covid-19 di televisi dan media lain.
Presiden Jokowi menegaskan pesan bagi kita, untuk tidak meremehkan sama sekali pada bahaya virus Corona ini. Tapi, pemerintah juga menggaungkan istilah agar kita mulai membiasakan diri dengan kebiasaan baru, hidup berdampingan dengan Covid-19.
Presiden Jokowi menekankan arahannya terkait adaptasi kebiasaan baru agar masyarakat tetap produktif dan aman dari penularan Covid-19.
Yang utama yakni mengingatkan pentingnya prakondisi yang ketat. Sosialisasi kepada masyarakat harus dilakukan secara masif terutama mengenai sejumlah protokol kesehatan yang harus diikuti seperti menggunakan masker, menjaga jarak, mencuci tangan, menghindari kerumunan atau keramaian, hingga menjaga imunitas tubuh.
“Harus terus disampaikan kepada masyarakat, diikuti dengan simulasi-simulasi yang baik, sehingga saat kita masuk ke dalam tatanan normal baru, kedisiplinan warga itu sudah betul-betul siap dan ada. Inilah prakondisi yang kita siapkan sehingga disiplin memakai masker, jaga jarak aman, sering cuci tangan, hindari kerumunan, tingkatkan imunitas saya kira perlu terus disampaikan kepada masyarakat,” papar Presiden Jokowi.
Jadi, Budi Cilok benar. Kita harus kembali melangkah, melanjutkan hidup mencari nafkah di tengah wabah. Jika tidak cuek, punya rasa takut tapi tetap berani melangkah dengan kebiasaan baru, kita akan mampu melewati semua ini. Menang secara kesehatan, tapi juga bangkit secara ekonomi.
Persis seperti lirik lagu itu..
“Bersyukurlah masih diberi umur
saat berbagi sebarkan kebaikan..
berjuanglah di tengah wabah
bersama kita, pasti bisa hadapi bencana..
terserah, terserah, terserah maumu
mau cuek, mau takut itu pilihanmu..
terserah, terserah, terserah maumu
cari aman, cari mati, nyawamulah taruhannya..”