Pada rangkaian peringatan HUT ke-70 Indonesia, Presiden Jokowi menuliskan coretan tangan berisi tujuh harapan dan impian anak bangsa Indonesia yang dihimpun dari 34 provinsi.
Pada November 2018, ringkasan dokumen yang dihimpun dari Nol Kilometer Aceh Kota Sabang di ujung barat hingga Kabupaten Merauke di ujung barat itu disimpan dalam Monumen Kapsul Waktu Impian Indonesia untuk dibuka pada 70 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2085.
Monumen Kapsul Waktu berupa bangunan tugu di atas lahan seluas 2,5 hektar dengan pintu mewakili suku asli Merauke yakni Malind, Muyu, Mandobo, Mappi dan Auyu, sebagai penjaga tugu. Di dalam monumen terdapat relief mengenai perjalanan Indonesia, Pancasila, serta kebudayaan Papua.
“Ini monumen impian anak-anak Indonesia, ada tujuh impinan, intinya kita ingin negara kita negara besar yang maju dan bermartabat,” kata Presiden Joko Widodo.
Jokowi menggarisbawahi, tujuh impian seluruh anak bangsa ini akan terwujud kalau kita mau bekerja keras dan saling bekerja sama.
Tujuh mimpi anak-anak bangsa dari 34 Provinsi yang ditulis dan disimpan dalam Monumen Kapsul Waktu itu adalah:
- SDM Indonesia kecerdasannya mengungguli bangsa-bangsa lain di dunia.
- Masyarakat Indonesia menjunjung tinggi pluralisme, berbudaya, religius, dan menjunjung tinggi nilai-nilai etika.
- Indonesia sebagai pusat pendidikan, teknologi, dan peradaban dunia.
- Masyarakat dan aparatur pemerintah kita bebas dari perilaku korupsi.
- Membangun infrastruktur yang merata di seluruh Indonesia.
- Indonesia sebagai negara yang mandiri dan negara yang paling berpengaruh di Asia Pasifik.
- Indonesia sebagai barometer pertumbuhan ekonomi dunia.
Wow! Bayangkan bila pada 2085 semua impian itu bisa terwujud. Kita layak berdoa dan optimistis mimpi-mimpi itu akan terpenuhi, seandainya tidak tujuh-tujuhnya, tapi bisa terpenuhi mendekati tujuh pun sudah sangat luar biasa.
Coba hitung dari tahun lahir Anda, berapa usia Anda saat visi besar Indonesia menjadi negara super keren ini dapat terealisasikan? Mungkin kebanyakan dari kita sudah tak ada di bumi, tapi setidaknya anak cucu kita akan bangga menjadi Warga Negara Indonesia jika semua kerja keras dan kolaborasi itu dapat diwujudkan.
Impian Kapsul Waktu 2085 adalah satu hal. Tapi, tidak usah jauh-jauh, hal lain ada di tahun 2025-2040 ini, di mana sebagian besar dari kita, kalau Tuhan izinkan, masih ada menghirup nafas di dunia ini.
Pada rentang tahun itu, Indonesia diperkirakan mengalami puncak ‘Bonus Demografi’. Karenanya, pada 20 tahun antara 2020-2040, Indonesia perlu mempersiapkan diri dengan kehadiran banyaknya lapangan kerja. Saat itu, usia produktif di Indonesia bakal berlimpah.
Bonus Demografi artinya suatu keadaan yang dialami sebuah bangsa di mana jumlah usia produktif komposisinya akan jauh lebih besar daripada usia non produktif. Di sinilah kita perlu solusi untuk mengantisipasi bonus demografi ini dengan peningkatkan lapangan kerja dan penyediaan sumber daya manusia berkualitas tinggi.
Bonus Demografi ini kalau tidak disikapi dengan hati-hati ini akan membawa malapetaka. Jumlah penduduk usia produktif yang berlimpah bukannya memberikan keuntungan, tapi malah jadi beban negara nan memberatkan. Orang muda yang sangat produktif itu, jika tidak memiliki kualitas SDM memadai dan menemukan lapangan kerja yang cocok, akan jadi gerombolan kriminal yang mencoreng satu angkatan generasi di bangsa ini.
Bahkan, ada yang menyatakan juga jika saat ini ‘Bonus Demografi’ itu sudah datang lebih awal. Hingga September 2020, jumlah penduduk Indonesia mencapai 270,2 juta, melonjak 32,56 juta dibanding hasil Sensus Penduduk 2010. Peningkatan jumlah penduduk usia produktif terjadi lebih cepat dari perkiraan pemerintah, karena pada September 2020, jumlah penduduk usia 15-64 tahun sudah mencapai 70,7% dari total penduduk Indonesia atau sekitar 191 juta.
Ledakan penduduk usia produktif inilah yang harus dimanfaatkan sebagai ‘advantage’, karena jumlah penduduk usia produktif kita jauh lebih baik dibandingkan negara-negara lain, yang kini justru mengalami krisis kelahiran.
Negara seperti China, Inggris, Korea Selatan, Jepang, dan Singapura tengah memetik buah akibat kurangnya keinginan pasangan muda negeri itu untuk memiliki anak. Tak heran, kalau kita pergi ke negara-negara Barat, misalnya, dengan mudah bisa kita jumpai orang lanjut usia masih bekerja sebagai pelayan di pusat perbelanjaan. Imbas dari kurangnya tenaga kerja usia produktif.
Sebaliknya, Indonesia tengah bergelimang angkatan kerja. Namun, Bonus Demografi ini punya tantangan, antara lain: masih tingginya tenaga kerja dengan pendidikan sekolah menengah ke bawah, link and match dunia pendidikan dengan industri harus lebih diselaraskan sesuai kebutuhan, skill kelompok produktif lebih memadai, akses ke sektor kesehatan dan gizi masih minim terutama di daerah terpencil, perlunya peningkatan literasi terkait keuangan maupun akses pendidikan serta peningkatan kemampuan beradaptasi dengan perkembangan teknologi yang sangat cepat.
Di mana peran gereja dan lembaga keumatan Kristiani menyambut Bonus Demografi? Pertanyaan ini harus segera dijawab bersama. Jangan sampai gereja tak seiring dengan kesibukan pemerintah yang luar biasa bekerja keras menyiapkan ‘SDM Unggul Indonesia Maju’, lalu nanti saat ketinggalan kereta langsung menyalahkan mengapa gerbong perubahan bergerak begitu cepat.
Pemerintahan Presiden Jokowi menyiapkan bebagai program untuk membekali banjirnya penduduk usia produktif kita. Dari Program Kartu Prakerja, BLK Komunitas, Kartu Indonesia Pintar Kuliah, dan langkah-langkah lain, yang intinya mempersiapkan angkatan kerja menatap masa depan cerah. Undang-undang Cipta Kerja pun didesain untuk menyiapkan talenta sumber daya manusia kita bersiap menghadapi kencangnya industrialisasi.
Gereja bisa berperan, dengan membawa ‘marketplace’ ke lingkungannya. Mempersiapkan anak muda dalam kursus-kursus keterampilan yang dikelola tokoh-tokoh unggulan warga gereja, misalnya. Atau bersinergi dengan pemerintah maupun perusahaan swasta untuk ‘memagangkan’ pemuda gereja.
Hal seperti ini bisa dilakukan tak hanya di gereja atau komunitas kota besar, tapi juga perlu diimplementasikan di Papua, Ambon, Sumba, Nias, Mentawai, Minahasa, maupun daerah-daerah basis lain. Jangan sampai terus ada pertanyaan, mengapa sebagian besar daerah tertinggal nan miskin di Indonesia justru dari kantong kristiani.
Seminar-seminar tentang trend job kekinian pun perlu lebih sering digelar ke gereja, misalnya dengan mengundang pakar start-up maupun bagian pengembangan sumber daya manusia (HRD) perusahaan berbagi inspirasi. Begitupula upaya lain, seperti memasukkan Tes Psikokologi dan Teknik Wawancara Kerja pada ‘kurikulum’ tema persekutuan doa.
Dalam tataran paling sederhana, berapa banyak gereja memasang lowongan kerja, menjadi ‘matchmaker’ atau perantara pekerjaan antara pemberi dan pencari kerja.
Semakin cepat dan semakin dalam memetakan potensi pemuda gereja, maka semakin cepat pula kita menyambut ‘Bonus Demografi’ sebagai pemenang, bukan pecundang.
Mari kita bergerak bersama, mewujudkan anak-anak muda Kristiani gilang-gemilang, membantu Pak Jokowi merealisasikan tujuh mimpi Indonesia enam dekade mendatang. Menjadikan orang-orang produktif dari kalangan kita mendapat tempat sebagai pemenang dan bukan pecundang. Jadi penerima berkat Bonus Demografi, tidak sebagai beban berat negeri.
Sebagaimana Amsal 22:29 menyebut,
“Pernahkah engkau melihat orang yang cakap dalam pekerjaannya? Di hadapan raja-raja ia akan berdiri, bukan di hadapan orang-orang yang hina.”
Agustinus ‘Jojo’ Raharjo, jurnalis senior dan praktisi public relations
(Dimuat di Majalah Gaharu, edisi Juni 2021)