Raditya Dika: Keberuntungan = Kesiapan Bertemu Kesempatan

Ketertarikan Raditya Dika Angkasa Putra pada dunia storytelling atau bercerita sudah dimulai sejak kecil. Berawal dari keisengannya membuat blog hingga dijadikan buku, keahlian Raditya Dika terus berkembang hingga menjadi penulis, aktor, komika, hingga sutradara film.

Meski sudah terkenal dan meraih berbagai pencapaian, Radit -panggilan akran ayah dua anak ini- mengingatkan agar kita harus terus meningkatkan nilai diri kita, sehingga jika kualitas diri kita itu ‘ditukar dengan uang’, nilainya bisa meningkat.

Motivasi itu disampaikan Raditya Dika saat menjadi bintang tamu Live Instagram ‘Tangguh Bertumbuh Bersama Prakerja’ dimoderatori presenter Arlista Hadhi.

Menurut pria kelahiran Jakarta 36 tahun lalu silam, kita harus selalu menyiapkan diri untuk meningkatkan level. Karena ‘keberuntungan’ adalah ‘kesiapan’ yang bertemu dengan kesempatan.

“Tingkatkan terus skill diri. Misalnya awalnya hanya jadi komikus atau menggambar untuk komik, kemudian berkembang dengan membuat storyboard. Setelah skill meningkat, temukan kesempatan dengan sering-sering mencari lowongan kerja di situs-situs job platform,” papar lulusan University of Adelaide, Australia itu.

Di masa pandemi seperti ini, dua hal penting ditekankan oleh Raditya Dika. Pertama, banyak berada di rumah membuat kita bisa fokus mempersiapkan diri dengan meningkatkan skill hingga saatnya kesempatan itu tiba.

“Kedua, banyak-banyaklah membuat dirimu menjemput kesempatan itu,” ungkapnya.

Radit juga menekankan pentingnya bagi kita memiliki ‘growth mindset’, punya pikiran untuk terus bertumbuh. Termasuk saat mendapat kritikan atas karya maupun hal-hal lain tentang diri kita.

“Kritik itu legit, asal merupakan kritik yang berdasar dan disampaikan untuk meningkatkan diri kita. Patut kita syukuri, karena dengan kritik kita jadi punya ruang untuk tumbuh,” terang sutradara, penulis skenario dan pemeran lebih dari 10 judul film ini.

Menurut Radit, tidak ada yang lebih menyedihkan bagi seorang pekerja kreatif daripada kenyataan saat ia tak lagi mendapat kritikan.

“Buat apa kita hidup kalau sudah punya karya sempurna? Tidak ada ruang untuk mengembangkan diri, bisa meningkatkan diri apa yang kurang. Makanya, di sinilah ‘growth mindset’ itu jadi penting,” tuturnya.

Lalu, bagaimana kalau karya kita sepi dari kritikan?

Radit menyarankan agar sering-seringlah membuka diri.

“Kalau Anda punya mimpi jadi novelis, carilah orang yang bisa mengkritik tulisanmu. Bisa siapa saja. Saudara, adik kakak, dan lain-lain. Kasih tulsianmu. Minta pendapat, ada yang kurang tidak dari tulisan itu,” kata Radit.

Begitu pula untuk karya-karya lain.

“Jika Anda mau mengembangkan diri sebagai ‘tiktokers’, tapi merasa karyamu belum banyak yang nonton dan pengen dikritik, coba lempar di grup alumni sekolah. Minta teman-teman mengkritik, memberi komentar. Buka diri, kasih ruang agar kita tahu apa yang menjadi kekurangan kita,” urainya.

Radit membedakan ‘kritikan’ dan ‘hujatan’. Semua dilihat dari niat atau intensinya. “Kritikan itu untuk membangun, sedangkan hujatan itu untuk menjatuhkan. Tidak masalah jika ada yang bilang karya kita ‘garing’. Hidup harus terus berjalan,” ungkapnya.

Pentingnya Kemampuan Merespon

Menurut Radit, sering kali, apa yang terjadi dalam hidup kita tergantung bagaimana sikap kita merespon pada kejadian itu. Termasuk bagaimana kita menjadikan sesuatu yang sekilas sebagai masalah justru jadi cerita yang menyenangkan.

Ia berkisah saat buku karyanya berjudul ‘Kambing Jantan’, ternyata di beberapa toko buku dimasukkan dalam kategori rak ‘Buku Pertanian’.

“Saya tidak memilih untuk marah-marah kepada manajer toko buku itu. Tapi justru menjadikannya sebagai bahan cerita lucu yang terus saya kenang sampai sekarang,” katanya.

Radit mengungkakan latar belakang memberi judul buku  pertamanya ‘Kambing Jantan’ lebih karena ia ingin tampil beda. Pada saat itu, buku-buku anak muda lain punya judul generik, seperti ‘Eiffel, I’m in Love’ atau ‘Me vs High Heels’.

“Saya membuat keputusan untuk membedakan diri saya dengan orang lain. Karena kalau kita beda, maka kita sendirian,” ucap salah satu pencetus program ‘Stand Up Comedy’ ini.

Ia menekankan, banyak orang senang dengan hal-hal baru. Untuk itu, daya kreatif kita harus digunakan untuk mencari pembeda diri kita dari orang lain.

“Misalnya, Anda akan jualan cupang. Bedakan produknya, bedakan kemasannya, dan lain lain. Semakin kita sendirian dan hanya kita yang melakukan hal itu, makin banyak orang beli karya atau produk kita,” tukasnya.

Di sinilah Radit menekankan prinsip, ‘dengan makin berbeda, kita makin dicari orang’. “Hukum ekonomi memang begitu kan? Kalau sebuah barang itu substitutif atau memiliki banyak pengganti, maka nilainya akan semakin kecil,” ungkapnya.

Ia pun memberi contoh keberaniannya yang lain. Seperti membuat series ‘Malam Minggu Miko’, atau menciptakan podcast politik yang sangat panjang, kala berduet dua jam dengan Effendi Gazali.

“Banyak orang takut memulai karena takut gagal. Beranikan diri selagi ada kesempatan. Kegagalan adalah kesempatan kita untuk tangguh dan tumbuh,” katanya.

Radit menyatakan, bagi dirinya, yang lebih menakutkan dari kegagalan adalah penyesalan.

“Saya tidak mau, pada suatu malam, sekitar umur 50-60 tahun, saya melihat ke langit-langit kamar dan merenung. Ah, seandainya di masa muda dulu saya melakukan ini dan itu,” ucapnya.

Fokus pada Hal yang Bisa Kita Ubah

Bagaimana saat rasa malas dan bosan datang menyerang? Simpel saja jawaban Radit.

“Tidur aja. Besok lanjutkan. Masing-masing orang itu daya produktinya berbeda-beda. Dan ingat, dalam hidup ini jangan lupa untuk bersenang-senang. Saya pun memberikan waktu bagi diri kita untuk bermain di sela bekerja. Main game online, nonton tv, dan lain sebagainya,” ungkapnya.

Satu pesan penutup Radit, kita harus membiasakan diri mengubah cara berpikir. Merespon semua kejadian dengan santai dan positif. Fokus ke hal yang bisa kita ubah, daripada yang tak bisa kita ubah.

“Pandemi ini tak bisa kita ubah, tapi kita bisa atasi. Ada tetangga sebelah yang selalu nyinyir, ngomongin kita sampai pedasnya level sembilan. Mungkin kita tak bisa mengubahnya agar tidak omongin kita lagi. Dibiasakan saja, kita harus lanjutkan hidup,” kata Radit.

Leave a Reply

Your email address will not be published.