Dalam usianya yang baru 1,5 tahun, Program Kartu Prakerja telah memberikan dampak signifikan di tengah situasi sulit akibat pandemi. Sejak Gelombang 1 dibuka pada 11 April 2020 hingga pengumuman penerima Gelombang 20 pada 15 September 2021, program ini sudah menjangkau 10,6 juta penerima manfaat. Rinciannya yakni 5,5 juta peserta pada 2020 serta 5,1 juta penerima Kartu Prakerja pada 2021.
“Pada 16 September 2021, kami kembali membuka pendaftaran baru, yakni Gelombang 21 dengan kuota 754.929 orang,” kata Direktur Eksekutif Manajemen Pelaksana Program Kartu Prakerja Denni Puspa Purbasari saat memberikan kuliah umum dalam ‘Forum Pembangunan Indonesia’ Magister Ekonomi Kependudukan dan Ketenagakerjaan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia bertopik ‘Peran Program Kartu Prakerja dalam Meningkatkan Keterampilan Kerja’, Kamis, 16 September 2021.
Mengutip data Badan Pusat Statistik pada 2020, Denni memaparkan bahwa pengangguran dan kemiskinan di Indonesia naik akibat pandemi Covid-19. Pada 2016, jumlah penduduk miskin di Indonesia sebanyak 27,76 juta atau 10,70 persen dari keseluruhan jumlah penduduk. Angka itu terus menurun menjadi 24,79 juta atau menyentuh 1 digit dari keseluruhan jumlah penduduk (9,22 persen). Namun, akibat pandemi, jumlah penduduk miskin kembali meningkat mencapai 27,55 juta (10,19 persen).
Tahun lalu, sebanyak 29,12 juta orang penduduk usia kerja terdampak pandemi Covid-19 dengan rincian 2,56 juta orang berhenti bekerja, 1,77 juta orang sementara tidak bekerja, dan 24,03 juta orang mendapatkan pengurangan jam kerja. Selain itu, ada 0,76 juta orang yang kemudian ‘mutung’ tidak lagi bekerja dan tidak juga mencari kerja atau mencoba memulai usaha, antara lain karena melihat lowongan kerja sedikit ataupun jualannya tidak laku.
Data Manajemen Pelaksana Program Kartu Prakerja menunjukkan, 89% penerima Kartu Prakerja menganggur saat mereka mendaftar program ini. Bukan hanya menganggur karena PHK, namun juga mereka yang fresh graduates dan sedang mencari kerja termasuk juga mereka yang mutung tadi.
“Di sinilah Kartu Prakerja hadir memberi solusi tidak hanya untuk mereka yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat pandemi, tapi menjadi program pengembangan kompetensi para pencari kerja dan juga pekerja yang membutuhkan peningkatan kompetensi, termasuk pelaku usaha mikro dan kecil,” kata Denni.
Berbicara di depan para mahasiswa program pascasarjana yang secara khusus mengambil spesialis terkait ketenagakerjaan, doktor ekonomi lulusan University of Colorado at Boulder, Amerika Serikat, itu memaparkan salah satu tantangan ketenagakerjaan Indonesia yakni tidak berkualitasnya sisi supply pasar tenaga kerja kita.
Dari 135 juta jumlah angkatan kerja Indonesia saat ini, 90 persen diantaranya belum pernah mengikuti pelatihan bersertifikat. Demikian pula profil 7 juta jumlah pengangguran kita, 91 persen diantaranya belum pernah mengikuti pelatihan bersertifikat.
“Sayangnya, baik perusahaan maupun pekerja kita cenderung tak peduli dengan skilling, upskilling, dan reskilling sebagai upaya peningkatan kualitas angkatan kerja,” ungkapnya.
Dari sisi invididu, menyitir penelitian Bank Dunia, para pekerja menempatkan pelatihan peningkatan skill dalam peringkat paling buncit (10) pada prioritas pengeluaran pribadinya.
“Sebanyak 64 persen tidak mengikuti pelatihan peningkatan skill karena merasa tidak tersedia pelatihan yang sesuai dengan minat dan keterampilannya,” paparnya.
Begitu pula dari sisi manajemen. Perusahaan juga sedikit sekali menganggarkan dana untuk pelatihan bagi pengembangan karyawannya.
“Hanya 44 perusahaan yang memberikan pelatihan kepada pekerja karena merasa tidak ada kebutuhan untuk itu,” ungkapnya.
Denni menjelaskan kondisi ini menunjukkan terjadinya kegagalan pasar dalam menghasilkan tingkat pelatihan kerja yang optimal. Karena itulah, Program Kartu Prakerja hadir untuk memberikan beasiswa pelatihan meskipun, karena situasi pandemi, ada sifat semi-bansos yang diembannya.
“Program Kartu Prakerja mendisrupsi pasar pelatihan kerja, dari yang semula top down menjadi on demand. Selain itu, Prakerja menghidupkan pasar peningkatan keterampilan. Antar lembaga pelatihan yang jumlahnya ratusan itu saling bersaing memberikan layanan dan harga terbaik bagi konsumen,” jelasnya.
Denni Purbasari mengungkapkan, mengikuti pelatihan di Prakerja juga terbukti dapat meningkatkan pengetahuan peserta, yang diindikasikan dengan nilai Pre-Test dan Post-Test.
“Hasil survey BPS menunjukkan bahwa 91 persen peserta mengatakan keterampilan kerja mereka meningkat. Hal ini selaras dengan evaluasi Manajemen Pelaksana dimana skor pre-test peserta meningkat dari awalnya 59 menjadi 73 pada saat post-test,” pungkas Deputi Ekonomi Kantor Staf Presiden 2015-2020 ini.