Program perlindungan sosial berupa “cash plus”, baik itu plus pendidikan, pelatihan, maupun kesehatan sangat diperlukan negara berkembang yang terdampak pandemi COVID-19. Selain memberikan bantuan keuangan, program tersebut harus memiliki elemen pengembangan modal manusianya dan bersifat inklusif. Artinya, program perlindungan sosial “cash plus” juga harus dapat menjangkau sektor informal, perempuan, penyandang disabilitas, dan menggunakan fintech, pendaftaran online, serta pendaftaran jarak jauh.
Hal ini disampaikan Profesor Mari Elka Pangestu, Managing Director of Development Policy and Partnerships Bank Dunia saat membuka ‘19th Economix International Dialogue’ yang diselenggarakan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia bekerja sama dengan Bursa Efek Indonesia, baru-baru ini. Even tahunan Dialog Internasional Economix kali ini mengambil tema ‘A Rising Promise: Social Protection in Southeast Asia’.
“Program perlindungan sosial sebaiknya juga membangun modal manusia dengan memberikan pelatihan keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan di masa depan. Program juga harus bisa beradaptasi dan lincah, termasuk terhadap wilayah-wilayah yang membutuhkan,” kata ekonom senior yang pernah menjabat Menteri Perdagangan serta Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif ini.
Di forum yang sama, Direktur Eksekutif Manajemen Pelaksana Program Kartu Prakerja, Denni Purbasari menyatakan bahwa semua yang disampaikan oleh Mari Elka Pangestu sudah ada dalam Program Kartu Prakerja.
“Bahkan, bukan lagi sebatas ide, namun sudah diimplementasikan sejak 11 April 2020 dengan jumlah peserta sampai dengan saat ini telah mencapai 11,4 juta orang. Program Kartu Prakerja memberi uang setelah selesainya pelatihan. Jadi Prakerja adalah conditional cash transfer di masa pandemi,” urai Denni.
Ia memaparkan, dalam program Kartu Prakerja, pelatihan yang disediakan beragam dan bisa dipilih sendiri oleh peserta. Pelatihan-pelatihan ini disediakan oleh ratusan lembaga pelatihan yang saling bersaing. Pendaftaran dilakukan secara daring melalui situs prakerja.go.id dan seluruh prosesnya berlangsung “end-to-end” secara digital.
Selain itu, Program Kartu Prakerja juga menjadi pionir Government to Person (G2P) Program di Indonesia yang melibatkan fintech berdampingan dengan bank, sehingga membantu meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia. Alhasil, sebanyak 27 persen peserta yang sebelumnya tidak memiliki rekening tabungan maupun e-wallet, kini punya rekening setelah bergabung dalam program ini, dimana 92 persen di antaranya memilih e-wallet.
“Jadi, Program Kartu Prakerja sudah memberikan bukti bahwa inklusi keuangan sulit jika hanya dilakukan lewat bank. Program Kartu Prakerja juga terbukti inklusif, menjangkau peserta perempuan, penyandang disabilitas, mantan/calon Pekerja Migran Indonesia, lulusan SD ke bawah, dan orang-orang dari daerah tertinggal,” jelas doktor ekonomi lulusan University of Colorado at Boulder, Amerika Serikat, itu.
Denni Purbasari menekankan, program ini juga terbukti adaptif. Ketika pandemi memukul Indonesia, besaran insentif diperbesar menjadi Rp2,4 juta untuk menyediakan bantalan sementara bagi ekonomi rumah tangga yang terpukul akibat pandemi dan pelatihan hanya dilaksanakan secara online sehingga pas di saat mobilitas dan interaksi manusia terbatas.
“Survei menunjukkan, insentif sangat membantu peserta untuk membeli bahan pangan. Selain itu, dari peserta yang menganggur, 28 persen di antaranya kini sudah bekerja, baik sebagai karyawan maupun wirausaha,” pungkasnya.
Selain Mari Elka dan Denni Purbasari, dialog ini juga menghadirkan pembicara lain yakni Director and CEO Yusuf Ishak Institute Choi Shing Kwok, pendiri SMERU Institute Sudarno Sumarto, serta Director of Education and Social Progress Programme at Jeffrey Cheah Institute on Southeast Asia Leong Choon Heng.