Telpon Jam Tujuh Malam

Sejak terpisah dengan si sulung karena beda kota, harapannya bisa terjalin komunikasi intens berkat bantuan teknologi.

Bersyukurlah sekarang kita hidup di era teknologi informasi. Dengan biaya murah. Cukup langganan paket internet, di ponsel muncul video. Bisa muncul langsung gambar lawan bicara secara real time. Bayangkan dulu. Komunikasi orangtua dan anak yang terpisah ratusan kilometer dilakukan lewat pos surat. Datangnya bisa seminggu. Belum ada Tol Trans Jawa ala Jokowi tentu saja.

Sebangsa dengan surat, ada pula telegram. Juga lewat jasa Kantor Pos. Isinya pendek-pendek. Dihitung biaya per kata. Kadang saking pendek dan berhemat, isinya seperti, “Anak waras, bondo telas.” Kondisi anak sehat, tapi uang habis. Segeralah tolong bapak atau ibu kirim wesel untuk memperpanjang nafas Ananda di kost-kostan.

Situasi membaik ketika ada demam ‘wartel’ di mana-mana. Warung Telkom. Orangtua, atau anak, pergi ke wartel. Telpon seperlunya ke telpon rumah. Sekali angkat gagang telpon, nampak argo menyala: dua ratus rupiah, lalu meleset kelipatan dua, tiga, dan seterusnya.

Kini semua era itu berlalu. Sudah ada hape bervideo. Karena itulah, saya berkomitmen, di manapun saya berada, untuk mengajaknya bicara di kisaran jam tujuh malam.

Pernah kecapekan di sebuah hotel di Papua. Demi menghormati komitmen itu, bangun deh jam tujuh malam, meski masih amat ngantuk, usai begadang Piala Dunia semalam sebelumnya. Langsung angkat telpon. Ternyata lupa. Jam tujuh malam di Jayapura berarti masih jam lima sore di Jogja.

Nak, ayah kangen. Ayah mau bicara. Barang semenit dua menit. Dengan tampakkan wajahmu. Sebagaimanapun kondisinya. Juga saat malam ini, ia berpetualang bersama gank sekolahnya ke Temanggung dan Wonosobo. Di kaki Gunung Dieng.

One Reply to “Telpon Jam Tujuh Malam”

Leave a Reply

Your email address will not be published.