Pemred Tempe

Bersua sahabat lawas. Dari Malang ke Jakarta. Mengaduk-aduk Pasar Kebayoran Lama saat subuh melanda.

Mardi Sampurno. Karib saya saat di SMA Negeri 4 Surabaya. Kami duduk sebangku. Kerap main ke rumahnya di Karang Menjangan Gang II. Dari dia saya tahu ‘jalan tembus’ menerobos RSUD Dr Soetomo. Menyeberang dari sekolah, melewati UGD, beberapa lorong sal perawatan pasien, hingga tembus ke kamar mayat. Gang rumahnya ada di seberang instalasi pemulasaraan jenazah.

Lalu garis nasib memisahkan kami. Saya beruntung diterima di Unair. Mardi masuk ke IKIP PGRI alias Universitas PGRI Adi Buana Surabaya. Dipimpin seorang pentolan Partai Golkar Jawa Timur.

Rupanya, jalan jurnalistik menjadi irisan kehidupan kami. Suatu saat, saya lupa dia sudah lulus kuliah atau belum, Mardi tergerak membaca iklan magang jadi wartawan di Malang Post. Pariwara di Jawa Pos itu membeberkan bahwa para peserta magang akan diajari cara jadi jurnalis, dan kalau beruntung akan mendapat kesempatan bekerja di sana.

Saya bukan orang kaya. Tentu saja. Ke kampus saja naik sepeda angin atau motor tua yang kadang susah banget dinyalakan mesinnya. Tapi, Mardi datang menggantungkan harapan. Dia menitipkan tape recordernya yang tergolong mewah, dengan dua speaker terpisah. Pria supel ini butuh dana sebagai biaya mengikuti program magang Malang Post. Bangga melihat perjalanannya bertahun-tahun kemudian.

Sekian tahun di Malang Post, menjelajah ke berbagai pelosok kabupaten, Mardi kemudian ‘membajakkan diri’ ke Radar Malang. Di sana terus meroket sampai jadi pemimpin redaksi.

Sebagaimana grup Jawa Pos di berbagai kota, pemred tak boleh tua. Ia kini sudah lengser dari pucuk pimpinan redaksi. Mardi pindah ke bagian bisnis. Mengurus agar dapur koran terus mengepul di tengah tantangan digitalisasi media.

Dua hari ini ia ke Jakarta. Undangan resminya menghadiri temu media dari sebuah perusahaan otomatif jenama asal negeri tirai bambu di Kebayoran Lama. Cuma beberapa jam urusan kantor, waktunya digunakan sangat efektif. Subuh bergerilya ke Pasar Kebayoran Lama. Mencari jalan agar side jobnya bisa merambah ibu kota. Sehari-hari, di Lawang, Kabupaten Malang, Mardi memasok sayuran macam daun katuk dan genjer. Selain itu, bersama Virgasanti, isteri setianya, Mardi membuat tempe khas Malang. Benar-benar membuat sendiri.

“Ya lumayanlah, omset sehari bisa sekitar Rp 400 ribu,” katanya.

Di Pasar Kebayoran Lama ia menjelajah lapak demi lapak. Bertanya-tanya dan ditanya-tanya. Tekadnya baja, hidup tak harus digantungkan jadi karyawan semata. Wirausaha adalah jawabannya. Meski harus bangun subuh, mengantar sayur dari rumah ke rumah di perumahan kawasan Bedali, Lawang.

Selamat berjuang, sahabat. Pangkat, jabatan, dan gaji hanya sementara. Semangat juang tak kenal menyerah itu selamanya.

One Reply to “Pemred Tempe”

Leave a Reply

Your email address will not be published.