Kisah Ghanta Meneliti Ilmiah Bonek 225 Km di Luar Surabaya

Bayoghanta Maulana Mahardika menuliskan ringkasan tesisnya dalam buku ’Awakdewe Iki Yo Bonek’, Ruang dan Identitas Pendukung Persebaya di Luar Surabaya. Hasil penelitiannya ke komunitas suporter pencinta Persebaya di Klaten, Sragen, dan Boyolali.

Ternyata Bonek -julukan supporter Persebaya, artinya bondo nekat, modal nekat- tak hanya kuat di Surabaya dan kota-kabupaten lain di Jawa Timur. Bonek tak hanya lekat di wilayah Arek dan Madura.

Tiga daerah khusus menjadi penelitian Ghanta, yakni Klaten, Boyolali, dan Sragen, semuanya ada di wilayah Solo Raya. Tema ‘Memayu Hayuning Persebaya’ serasa pas sesuai dengan falsafah Jawa yang kerap jadi jargon di wilayah itu. Artinya: menjunjung tinggi keselarasan alam dan manusia, menugaskan manusia untuk menjaga dan memelihara keindahan dunia.

”Buku setebal 110 halaman ini memang bagian dari tesis saya, untuk mencari tahu bagaimana orang-orang yang tinggal/berasal dari luar Surabaya memilih jadi Bonek di daerah itu,” kata peraih gelar magister bidang antropologi dari Universitas Gadjah Mada 2024 ini.

Landasan teorinya sangat kuat dan variatif. Untuk daftar pustakanya saja ada lima halaman. Diawali dengan apa itu definisi fandom. Perkumpulan orang-orang yang menggemari suatu hal yang sama disebut komunitas, sementara komunitas muncul karena adanya kecocokan atau kegemaran terhadap suatu entitas disebut fandom.

Penelitian lapangannya cukup komplet. Datang ke acara tiga komunitas itu, seperti perayaan hari jadinya. Bahkan sengaja bermalam di rumah dedengkot bonek-bonek Jawa Tengah. Mungkin yang kurang ikut nobar dan bergabung tour ke Surabaya bareng tiga komunitas ini. Tapi toh, untuk sebuah penelitian, tak harus semua hal dilakulan.

Dalam kebersamaan itulah Ghanta memahami asal-usul mereka. Ada yang pindahan dari Jawa Timur, berorangtua dari Jatim, jatuh cinta nonton Persebaya di televisi tanpa ada ikatan darah Jatim, dan ada juga yang terpesona saat melihat Bonek awaydays alias tret-tet-tet atau berestafet melewati kawasan Sragen, Boyolali, hingga Klaten.

Secara geografis, mereka lebih dekat dengan Persis Solo, PSIS Semarang, PSS Sleman atau klub kebanggaan masing-masing -Persebi Boyolali, PSISragen, dan PSIK Klaten. Tapi itulah sepak bola dan chemistry-nya.

Buku ini memberi semangat baru sekaligus membuka wawasan. Betapa kecintaan pada sebuah klub sepak bola lokal ternyata tak harus di daerah-daerah sekitar dan yang punya ikatan emosional khusus. Juga jadi pemecut bagi manajemen, merangkul lebih dalam komunitas Bonek ’jauh’ ini. Bukan soal fasilitas dan keistimewaan tertentu. Tapi, bagaimana melepas dahaga atas gersang prestasi Persebaya juara liga selama lebih dari dua dekade.

Selamat atas bukunya, Ghanta, memperkaya literatur tentang persepakbolaan nasional dan ‘kegilaannya’.

Leave a Reply

Your email address will not be published.