Minggu Gereja di Banda Aceh

Saat teman-teman seperjalanan pada ke Sabang, saya memilih beribadah Minggu di Banda Aceh. Lokasi GPIB Banda Aceh di Pocut Baren, tak jauh dari lokasi menginap di kawasan Bundaran Tugu Simpang Lima.

Karena tak paham lokasi detailnya, saya pesan GoJek. Membayar dengan tarif termurah. Setelah sadar tak sampai sekilo, pulangnya berjalan kaki, melewati sentra penjual asesoris ponsel di Teuku Panglima Polem, Peunayong dan juga Vihara Dharma Bhakti.

GPIB Banda Aceh menggelar sekali ibadah Minggu di jam 9 pagi. Sembari menanti kebaktian dimulai, saya berbincang dengan rekan sebangku, barisan depan di lantai dua gereja. Ibadah memang berlangsung di lantai atas. Ruangan di bawah nampaknya dipakai Sekolah Minggu atau Ibadah Remaja.

Idaman Pelawi Sembiring, namanya. Sebagai pensiunan Dinas Peternakan Pemerintah Kota Banda Aceh, usianya hampir 64 tahun. Orang Karo yang 44 tahun tinggal di Banda Aceh.

”Rumah saya di Lampulo, tak jauh dari Monumen Rumah Kapal,” ujar Idaman yang datang bersama isteri.  Yang dimaksud adalah sebuah kapal nelayan terseret gelombang tsunami dan terdampar di atas rumah penduduk setinggi sekitar 3 meter. Kapal ini tersangkut di atap rumah dan tetap berada di sana hingga kini. Keberadaan kapal di atas rumah menjadi salah satu pemandangan ikonik dari peristiwa itu, dan dikemas sebagai salah satu lokasi wisata di Banda Aceh.

”Di Aceh ada sebelas gereja. Selain Katolik, GPIB, ada HKBP, Pos Pelayanan BNKP, serta beberapa gereja pantekosta dan kharismatik,” kata anggota Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Aceh sebagai perwakilan masyarakat Kristen ini.

Ayah tiga anak ini berharap, gambaran tentang Aceh yang miring bisa lekas berubah. Di negeri yang memberlakukan Syariat Islam ini, toleransi dan kebebasan beribadah umat beragama lain sangat dijaga.

“Jangan takut, jangan ragu kalau ke Aceh. Silakan ambil foto-foto sebagai bukti bahwa di Aceh aman untuk beribadah,” kata Idaman.

GPIB Banda Aceh punya sekitar 150 kepala keluarga warga jemaat. Hari itu, ibadah Minggu dilayani Pendeta Yoel Robert Rampengan, pria asal Minahasa yang baru sebulan menggembalakan GPIB Banda Aceh.

Ia mengawali ibadah dengan membuka ayat favorit saya, Yosua 1:9.

”Bukankah telah Kuperintahkan kepadamu: kuatkan dan teguhkanlah hatimu? Janganlah kecut dan tawar hati, sebab TUHAN, Allahmu, menyertai engkau, ke manapun engkau pergi.”

Setelah itu, fokus pada Keluaran 19:1-6. Kisah penampakan Tuhan di Gunung Sinai saat jutaan orang Israel menempuh perjalanan dari Mesir ke tanah perjanjian.

Menurut Yoel, Israel Alkitabiah di Perjanjian Lama, bukan Israel politik sekarang ini ya, bisa menjadi contoh hidup kita di hadapan Tuhan.  

”Meski keras dan tegar tengkuk, mereka tetap jadi umat pilihan Allah. Seperti apapun kita, Tuhan akan menjadi seperti rajawali yang menjaga anaknya,” urainya.

Lulusan Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta ini menambahkan, jumlah orang Kristen di dunia saat ini masih dianggap sebagai umat beragama dengan populasi terbanyak di dunia. ”Tapi, apakah dengan jumlah yang banyak itu sesuai dengan karakter spesial kita di hadapan Tuhan, sebagai umatNya nan kudus?” tanyanya.

Yoel menegaskan bagaimana cara Tuhan menguduskan GPIB Banda Aceh jadi salib di tengah-tengah kota yang syariah. ”Cara hidup kita pun akan beberda, spesial, mengedepankan nilai-nilai kasih karunia untuk seluruh ciptaannya. Kasih yang rahmatan lil alamin,” kaat pendeta yang sebelumnya melayani di GPIB Menara Iman, Duren Sawit, Jakarta Timur.

Ia menggarisbawahi, kita adalah Kristen yang tak pernah final, tak pernah selesai. Kekristenan yang harus terus diperjuangkan.

”Proses pengudusan adalah proses yang tak pernah final di dunia ini. Perjamuan Kudus mengingatkan kita bahwa hidup juga terus menerus diperbaharaui, terus diubahkan, dan jadi spesial di dalam Tuhan,” paparnya.

Pendeta ini memang suka menggunakan kata ’spesial’. ”Ya, ibarat nasi goreng, nasinya tetap sama, tapi menjadi spesial karena ditambah cumi, udang, dan telor mata sapi,” katanya beranalogi.

Firman Tuhan dilanjutkan dengan pelayanan Perjamuan Kudus. Hari itu tepat pada jadwal Perjamuan Kudus, yang di GPIB hanya berlangsung empat kali dalam setahun: di awal tahun, Jumat Agung, tengah tahun di Juli, dan Hari Oikumene di Oktober.

Terima kasih untuk kesempatan beribadah di GPIB Banda Aceh. Semangat terus anak Tuhan di Negeri Serambi Mekkah!

Leave a Reply

Your email address will not be published.