Sumber konflik agraria di Indonesia cepat atau lambat akan berkurang dengan lahirnya tenaga profesional yang tak hanya memiliki keterampilan praktis, tapi juga ideologis memahami persoalan tanah.
Pernyataan itu disampaikan Wakil Ketua Komisi II DPR sekaligus Ketua Tim Kunjungan Kerja Reses ke Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Aria Bima, saat mengunjungi Sekolah Tinggi Pertanahan (STPN) di kawasan Banyuraden, Gamping, Sleman.

Selain membahas kondisi STPN dan Pengawasan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sektor Pertanahan di DIY, dalam kunjungan ini Komisi II DPR RI juga makan siang bersama para taruna STPN.
“STPN ini adalah persemaian SDM bagi Kementerian ATR/BPN. Mereka disiapkan bukan hanya dengan kompetensi teknis, tetapi juga dengan pemahaman filosofis, sosiologis, historis, dan ekonomis tentang tanah. Karena persoalan tanah ini bukan sekadar urusan perorangan, tetapi persoalan bangsa dan negara,” ungkap Aria Bima.

Politisi PDI Perjuangan itu menyoroti bahwa fasilitas boarding school di STPN saat ini baru berlaku bagi mahasiswa tahun pertama, sementara mahasiswa tingkat dua hingga empat masih harus tinggal di luar kampus.
“Kami berharap, dengan adanya perhatian lebih dari pemerintah, seluruh mahasiswa bisa masuk dalam sistem boarding school. Dengan begitu, penanaman nilai-nilai soft skill, kecintaan pada tanah air, serta integritas moral bisa lebih kuat,” jelasnya.
Lebih lanjut, Aria Bima menyampaikan bahwa Komisi II DPR RI akan membawa persoalan ini ke rapat kerja bersama Kementerian ATR/BPN. “Kami ingin STPN benar-benar mendapat perhatian, baik dari sisi infrastruktur maupun peningkatan kualitas SDM pengajarnya.
Karena ke depan tantangan semakin kompleks, termasuk adanya pemekaran wilayah yang kini sudah mencapai 38 provinsi dan 508 kabupaten/kota. Itu artinya, kebutuhan kantor pertanahan dan tenaga profesional semakin besar,” tegasnya.

Dua Wakil Ketua Komisi II DPR RI hadir dalam kunjungan kerja reses ke STPN Yogyakarta, yakni Aria Bima (Fraksi PDI Perjuangan) dan Zulfikar Arse Sadikin (Fraksi Partai Golkar), bersama anggota Komisi II DPR lain yakni Bob Andika Sitepu, Romy Soekarno (F-PDI Perjuangan), Ahmad Doli Kurnia, Ahmad Irawan, Andar Amin Harahap, Taufan Pawe (F-Partai Golkar), Ahmad Wazir Noviadi. Longki Djanggola, (F-Partai Gerindra), Fauzan Khalid, Cindy Monica Setiawan (F-Partai Nasdem), Edi Oloan Pasaribu, Wahyudin Noor Aly (F-PAN) Eka Widodo, Mohammad Toha (F-PKB), Aus Hidayat dan Jazuli Juwaini (F-PKS).
Tim Kunres Komisi II DPR RI diterima Ketua Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) Yogyakarta Sri Yanti Achmad, Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi DIY Sepyo Achanto, dan Staf Ahli Bidang Teknologi Informasi Kementerian ATR/BPN Dwi Budi Martono.
Ketua STPN Yogyakarta Sri Yanti Achmad mengapresiasi kunjungan kerja Komisi II DPR RI. ”Kunjungan Komisi II DPR RI menunjukkan perhatian tinggi pada pembangunan SDM pertanahan, terutama agar pengelolaan SDM ini bisa menjadi bagian dalam solusi penyelesaian masalah agraria dan tata ruang,” ungkap Sri Yanti.

Hingga saat ini, STPN sudah menghasilkan lebih dari 7.466 lulusan yang sebagian besar berkarir di Kementerian ATR/BPN. STPN merupakan satu-satunya lembaga pendidikan yang mengajarkan pertanahan, kebumian, dan pengukuran.
”Tahun ini ada 2.539 taruna yang menjadi siswa STPN, baik melalui tugas belajar, mahasiswa umum, maupun kerja sama,” jelasnya.
STPN Yogyakarta berdiri di atas lahan seluas 6.8 hektar dengan 245 orang tenaga pendidik, termasuk di antaranya 17 doktor dan 1 guru besar.
Pada kesempatan yang sama, Anggota Komisi II DPR RI Taufan Pawe menekankan pentingnya evaluasi dan pembenahan di Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) Yogyakarta. Menurutnya, STPN sebagai satu-satunya sekolah tinggi pertanahan di Indonesia memiliki peran strategis dalam melahirkan sumber daya manusia (SDM) yang akan memperkuat Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).
“Tidak bisa dipungkiri, STPN ini adalah embrio dari SDM ATR/BPN yang nantinya akan terjun langsung ke masyarakat. Jadi output-nya harus benar-benar andal, berintegritas, dan mampu menjaga marwah institusi ATR/BPN,” ungkap Taufan.
Politisi Fraksi Partai Golkar itu menyoroti masih minimnya tenaga pengajar berkualifikasi tinggi di STPN, terutama karena hanya memiliki satu profesor atau guru besar, yang diistilahkan sebagai ’mahaguru sangat terpelajar’.
“Ini tentu harus menjadi perhatian. Jumlah profesor masih sangat minim. Idealnya, dosen bergelar doktor diberikan dukungan agar bisa segera meraih predikat guru besar. Sebab, keberadaan profesor adalah simbol daya tarik sekaligus kualitas dari sebuah perguruan tinggi,” tegasnya.
Taufan berharap keberadaan STPN dapat semakin diperkuat sehingga mampu menjawab kebutuhan nasional. “Karena STPN ini satu-satunya di Indonesia, maka sudah seharusnya menghasilkan output dan outcome sesuai harapan. STPN harus menjadi ’candradimuka’ bagi SDM pertanahan yang profesional, berintegritas, dan siap mengabdi untuk masyarakat,” ucapnya.
Sementara itu, Anggota Komisi II DPR RI Mohammad Toha menyoroti memiliki peran strategis STPN dalam menyiapkan sumber daya manusia pertanahan, namun masih menghadapi keterbatasan sarana dan kesejahteraan tenaga pendidik.
“STPN ini sudah lama berdiri, tapi ternyata belum memiliki laboratorium. Padahal, untuk akreditasi itu merupakan syarat utama. Jadi memang perlu adanya dukungan anggaran, bukan hanya untuk laboratorium, tapi juga fasilitas lain agar bisa berkembang, bahkan menjadi politeknik atau universitas,” ungkap Toha.

Toha menekankan pentingnya pembekalan soft skill bagi mahasiswa STPN. Menurutnya, kecerdasan intelektual harus dibarengi dengan kecerdasan emosional dan religius.
“Anak didik tidak cukup hanya pintar secara akademis, tapi juga harus punya adab, akhlak, dan integritas. Itu penting agar kelak, saat menjadi pejabat pertanahan, mereka bisa benar-benar melayani masyarakat,” jelasnya.
Antusiasme masyarakat terhadap STPN dinilai sangat tinggi. Dari sekitar 6.000 pendaftar, hanya 300 yang diterima setiap tahunnya. Hal ini, menurut Toha, menunjukkan kebutuhan besar akan pendidikan pertanahan.
“Saat ini prodi di STPN baru ada empat, sesuai kebutuhan Ditjen Kementerian ATR/BPN. Namun ke depan harus bisa menambah program studi baru untuk menjawab kebutuhan di tujuh direktorat jenderal yang ada,” tambahnya.
