Wejangan Amrustian, Legenda Sepak Bola PSMS

Tak sangka bersua salah satu legenda hidup PSMS Medan. Amrustian, gelandang yang bermain dalam laga final Divisi Utama Perserikatan 1985, PSMS melawan Persib Bandung di Stadion Utama Senayan.

Di Warung Teh Susu Telur (TST) Pak Haji di Jalan Utama, Kota Matsum, tempat nongkrong para penggemar bola Medan kami berjumpa. Di usia 66 tahun, Bang Amrus -sapaan akrabnya- masih ingat betul peristiwa fenomenal 40 tahun lalu itu.

PSMS Medan mengulang prestasi saat juara Perserikatan 1983. Persis. Menang adu penalti kontra Persib. Laga yang dijuluki ’El Clasico’-nya Indonesia. “Saya main yang Final 23 Februari 1985,” kata Bang Amrus mengenang. Saat itu, ia masih berusia 26 tahun. Usia emas main bola. Setelah klub Galatama Mercu Buana Medan bubar karena skandal suap, Amrus memperkuat Tim ’Ayam Kinantan’ di jalur perserikatan.

Diarsiteki legenda PSMS, Parlin Siagian, dan diperkuat top skor enam gol Mamek Sudiono, PSMS diisi para pemain terbaiknya. Line up berisi kiper Ponirin Meka; Nirwanto, Sunardi A, Hamdardi, Suheri, Sakum Nugroho; Musimin, Hadi Sakiman, Amrustian; Sunardi B, dan M Siddik. Pertandingan itu memecahkan rekor penonton Stadion Utama Senayan, Jakarta sebanyak 150 ribu orang.

”Penonton meluber sampai settle bench. Hampir saja laga tak bisa dimainkan. Tapi, ketegasan tentara membuat final berlangsung aman,” ungkapnya.

PSMS unggul 2-0 lebih dulu atas Persib dengan M. Siddik mencetak dwigol pada menit ke-14 dan 35 yang membuat permainan Persib kalang kabut.

Baru pada babak kedua Persib berhasil mengejar. Eksekusi penalti Iwan Sunarya pada menit ke-65 dan gol Ajat Sudrajat sepuluh menit berselang memaksakan hasil imbang 2-2.

Pertandingan final kemudian harus berlanjut hingga adu penalti lantaran tak ada gol tercipta di babak tambahan.

Dari lima eksekutor penalti Persib, hanya Ajat Sudrajat yang sukses. Iwan Sunarya, Adeng Hudaya, Dede Iskandar, dan Robby Darwis semuanya gagal.

Sementara di kubu PSMS, Sunardi B sang kapten kesebelasan, Amrustian, dan Nirwanto tak bisa menjaringkan bola.

Beruntung ada Musimin dan sang penentu kemenangan, Mamek Sudiono, yang memastikan gelar juara Perserikatan keenam bagi skuad PSMS. Lewat adu penalti, PSMS menang 2-1 atas Persib. Tim kebangaan masyarakat Sumut juara, diarak di Medan sejak tiba di Bandara Polonia.

Amrustian memang gagal mengeksekusi penalti. Sepakannya melambung di atas mistar gawang Sobur. Tapi, “Saya menebusnya dengan gol adu penalti pada final cabang sepakbola, PON XI. Pada tahun yang sama, di stadion yang sama,” kisahnya.

Sumatera Utara berhasil meraih medali emas setelah di babak final mengalahkan Irian Jaya 3-2 melalui adu tendangan penalti di Stadion Utama, Senayan, Jakarta, 20 September 1985. Tak ada gol tercipta di waktu normal.

Pelatih Asing Boleh, tapi Wajib Tularkan Ilmu

Bang Amrus setuju saja ada pelatih asing dalam timnas kita, tapi asistennya harus coach lokal sehingga ada ’transfer of knowledge’ dengan benar. ”Jangan cuma mereka datang cari duit lalu pergi, dan kita tak dapat ilmu apapun,” ungkap kakek delapan cucu ini.

Ia menyesalkan dari masa ke masa sepak bola kita lekat dengan ’kongkalikong’. ”Orang Medan bilang, selama ayam masih makan jagung, semua bisa diatur,” ucapnya.

Bang Amrus pun merinci kisah-kisah yang tak etis ditulis di sini. Bagaimana suap, kisah atur skor, terjadi di berbagai era persepakbolaan kita. Dari satu generasi ke geneasi lain.

Saat ini, ia juga bingung tentang Filanesia atau Filosofi Sepak Bola Indonesia pascaperginya Shin Tae Yong dan Patrick Kluivert. ”Jadi kek mana yang jadi acuan kita sebenarnya? Seharusnya kan panduan dasar gaya sepak bola kita ada, tapi kemudian ada kebebasan sesuai karakter daerah, misalnya Medan tangguh bertahan, Surabaya kuat menyerang, Bandung bagus di tengah dan lain-lain,” urai pria yang mengambil kursus kepelatihan seangkatan Fakhri Husaini, Edy Harto, Widodo C Putro, Tiastono Taufik, Wolfgang Pikal, dan lain-lain.

Pelatih berlisensi B AFC itu kian sedih saat menceritakan kini sepak bola Indonesia makin ’eksklusif’. ”Sulit bagi anak orang susah bisa main bola ke level tinggi. Meski punya bakat, ia tak bisa ikut tanding ke mana-mana karena harus bayar biaya transportasi dan lain-lain. Padahal kan harusnya semua free ditanggung klub,” paparnya.

Mantan pelatih PSBL Langsa, PSPS Pekanbaru dan asisten pelatih PSMS di tahun 2003 bersama legenda PSMS, Nobon Kayamuddin dan Sutan Harhara ini pun bertanya kencang, ”Kapan sepak bola Indonesia bisa maju kalau terus kayak gini?”

Leave a Reply

Your email address will not be published.