Hambali Baba

Setelah terakhir ke Medan Oktober 2022, kali ini datang ke ‘Negeri Para Ketua’ minus seorang kawan baik yang sudah berpulang lebih dulu.

Hambali Batubara, rekan sesama kontributor Tempo di era awal 2000-an. Lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran ini pulang dari Bandung untuk kembali ke Medan. Bekerja jadi jurnalis sekaligus mendampingi ibunya. Hambali koresponden Tempo di Medan, saya di Surabaya. Saat itu belum ada Whats App Group atau Blackberry Messanger, kami rutin berdiskusi di mailing list, atau kalau personal di Yahoo Messanger. Forum curhat sesama anak daerah yang kerap merasa terpinggirkan dengan kebijakan pusat.

Ia mengenalkan diri sebagai ‘Hambali Baba’. Kami kali pertama fisik di awal 2005, saat saya berkesempatan ke Medan kali pertama untuk liputan tsunami Aceh. Barulah saya tahu saat itu, Hambali dan seniornya, mas Bambang Soedjiartono punya mailing list yang isinya hanya mereka berdua. Sesama kontri Tempo di Medan.

”Tujuannya untuk merekap berita kami yang tayang, agar nanti bisa jadi bukti kalau sekretariat redaksi mengeluarkan rekap bulanan dan ternyata tak cocok,” kata mas Bambang Soed. Wartawan legendaris yang kemudian berkesempatan jadi anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sumut ini berpulang akibat stroke di masa Covid-19, Juli 2021.

Persahabatan dengan Hambali kian kuat saat 2008-2010 ia menjadi kontributor Radio CVC Australia, tempat saya bekerja juga. Dalam kunjungan ke Medan akhir 2008, saya dipersilakan tidur di rumahnya beberapa hari.

Kunjungan ke Medan 1,5 tahun lalu masih teringat. Kami kongkow di Café Agam Cabang Multatuli di bilangan Bukit Barisan. Hambali yang bergelut di media online bercurhat, ingin disambungkan jika saja ada koneksi pengusaha berminat membeli perkebunan kelapa sawit.

“Eh, ada kebun kelapa sawit dijual, Jo. Barangkali ada kawan pengusaha. Harga sekitar 200 miliar rupiah. Luasnya 500 hektar lebih,” kata Hambali, sambil kami nikmati hidangan khas kafe itu. Saya ambil TST Pinang. Teh Susu Telur, diberi ramuan pinang. Adapun menu unggulan di situ adalah Ifumie Bangladesh.

Petir itu menyambar saat awal Maret 2024, Ojie Nasution, sahabat lain di Medan mengabarkan sore itu Hambali jatuh tak sadarkan diri. Ia dirawat di rumah sakit, diagnosa karena serangan jantung. Saya sempat kirim doa lewat pesan Whats App. Berbalas. Tapi, sehari kemudian, ia meninggalkan kami semua. Yang membalas pesan WA saya itu ternyata isterinya.

”Siang sebelum Hambali jatuh, ia masih menelpon bertanya di mana posisi saya. Tak pernah lekang gaya khasnya saat tertawa, terutama di telpon, xixixixixixi,” kenang Ojie, yang terpaut usia beberapa tahun di atas Hambali.

Selasa pagi, 16 Juli 2024, Ojie mengantar ke pemakaman Hambali di TPU kawasan Jalan Tangkul Medan Tembung. Kami juga lewat depan rumahnya, tak jauh dari makam. Rumah yang nampak tinggal puing. Teringat belasan tahun silam saya tidur di kamar tengah rumah itu.

“Daripada kau tinggal di hotel, Jo,” kata Hambali, saat itu masih bujang, saat minum kopi di rumah yang cukup luas itu. Ia anak kedua dari tiga bersaudara, merawat ibunda nan sepuh, yang berpulang dua tahun lebih awal darinya.

“Saat ditunjuk sebagai pemberi sambutan kala prosesi jelang jenazah berangkat ke pemakaman, saya hanya sanggup bicara pendek. Sisanya banyak menangis,” kenang Ojie. Baik Ojie maupun Hambali sama-sama dikaruniai tiga buah hati.

Semoga Tuhan Sang Pemelihara Kehidupan menjaga keluarga jurnalis-jurnalis senior ini. Terutama isteri Hambali, seorang dosen di Universitas Sumatra Utara untuk membesarkan para penerus orang baik, sahabat kami itu.

Beristirahatlah dengan tenang, Baba…

Leave a Reply

Your email address will not be published.