Grandprix Terbaik

Bangga bisa bertemu sahabat ilmuwan muda di Jakarta.  Dr. Ir. Grandprix Thomryes Marth Kadja, M.Si mendapat Penghargaan Achmad Bakrie XX/2024

Usia GP -panggilan pria asal Tanah Timor itu masih sangat muda. Baru awal 30. Tapi sudah punya gelar doktor. Meski kaget juga ada title insinyur di depan namanya.

”Sekarang insinyur jadi gelar profesi,” itu penjelasan ayah satu anak ini.

Demikianlah, insinyur sekarang jadi gelar profesi di bidang keinsinyuran. Gelar ini tidak memiliki tingkatan seperti S1, S2, atau S3. Untuk mendapatkan gelar insinyur, seseorang harus memiliki latar belakang pendidikan sarjana di bidang teknik atau sarjana terapan teknik. 

Dalam penghargaan yang diserahkan di Ciputra World, Kuningan, Jaksel, 22 Agustus 2024, GP terpilih karena berhasil mengembangkan material nano sebagai katalis untuk energi berkelanjutan.  Dosen dari Kelompok Keahlian (KK) Anorganik dan Fisik Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Institut Teknologi Bandung (FMIPA ITB) ini mendapatkan Penghargaan Khusus: Ilmuwan Muda atas pencapaian dan karya inspiratifnya yang bermanfaat bagi tanah air.

Grandprix Thomryes Marth Kadja menjadi orang Indonesia pertama yang memperoleh gelar doktor di usia yang sangat muda, yakni 24 tahun. Saat itu, penggemar Liverpool ini lulus dengan nilai cumlaude setelah berhasil mempertahankan disertasinya pada Sidang Terbuka Sekolah Pasca Sarjana FMIPA Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 22 September 2017.

Disertasinya kala itu mengangkat topik tentang zeolite sintesis, mekanisme, dan peningkatan hierarki zeolit ZSM-5. Pemuda yang menyukai karakter kartun Sinchan itu menyelesaikan program percepatan studi S2 dan S3 dalam kurun waktu hanya empat tahun.

Ilmuwan muda sekaligus dosen Institut Teknologi Bandung (ITB) Dr. Ir. Grandprix Thomryes Marth Kadja, M.Si menjadi salah satu penerima Penghargaan Achmad Bakrie XX/2024. GP panggilan pria asal Tanah Timor itu- mendapat penghargaan prestisius ini bersama empat orang lain yakni, Jusuf Wanandi (Pemikiran Sosial), D. Zawawi Imron (Seni dan Budaya: Sastra), Afriyanti Sumboja (Sains dan Teknologi), dan Dokter Harapan (Kesehatan).

Usia GP masih sangat muda, baru awal 30. Tapi sudah punya gelar doktor. Dalam penghargaan yang diserahkan di Ciputra World, Kuningan, Jaksel, 22 Agustus 2024, Dosen dari Kelompok Keahlian (KK) Anorganik dan Fisik Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Institut Teknologi Bandung (FMIPA ITB) ini mendapatkan Penghargaan Khusus: Ilmuwan Muda atas pencapaian dan karya inspiratifnya yang bermanfaat bagi Tanah Air.

Grandprix Thomryes Marth Kadja menjadi orang Indonesia pertama yang memperoleh gelar doktor di usia yang sangat muda, yakni 24 tahun. Saat itu, penggemar Liverpool ini lulus dengan nilai cumlaude setelah berhasil mempertahankan disertasinya pada Sidang Terbuka Sekolah Pasca Sarjana FMIPA Institut Teknologi Bandung (ITB) pada Jumat (22/9/2017). Disertasinya mengangkat topik tentang zeolite sintesis, mekanisme, dan peningkatan hierarki zeolit ZSM-5. Pemuda yang menyukai karakter kartun Sinchan itu menyelesaikan program percepatan studi S2 dan S3 dalam kurun waktu hanya empat tahun.

Secara khusus, orang tuanya Oktovianus Kadja (60) dan Yane Kadja (60) hadir di Jakarta. Melalui sebuah kejutan yang dirancang penyelenggara acara. Hadir juga isteri dan buah hati jagoannya.

Octovianus mengaku, sejak istrinya mengandung, ia sudah mempersiapkan nama yang tepat untuk anaknya. Nama Grandprix terinsiprasi dari balapan Formula 1. Sementara Thomryes Marth itu diambil dari gabungan nama kakek dan nenek Grandprix, yakni Thomas, Rika, Yosua, dan Martha.

“Pemikiran saya Grandprix itu harus hebat dan besar dengan kecepatan dan harus terus berputar cepat seperti ban mobil balap Formula 1,” ucap Oktovianus yang juga pernah berprofesi sebagai guru.

Menurut Octovianus, sejak kecil Grandprix dididik untuk mandiri, disiplin, dan taat beribadah. Mulai dari SMP hingga SMA, setiap hari Grandprix selalu bangun pagi tepat pukul 04.30 WITA. Setelah bangun pagi, Grandprix langsung berdoa, masak, bersihkan kamarnya dan menyetrika pakaiannya sendiri, kemudian mempersiapkan diri ke sekolah. Selama bersekolah, Grandprix pun tidak pernah terlambat masuk sekolah. Padahal, ketika berangkat ke sekolah, Grandprix menumpang kendaraan umum (angkutan kota).

Grandprix merupakan ilmuwan muda pengembang material nano sebagai katalis untuk pengembangan energi berkelanjutan. Nano merujuk pada skala nanometer (1/1.000.000.000 m), sedangkan katalis merupakan zat yang bisa mempercepat dan mengarahkan reaksi kimia saat mengonversi suatu bahan baku menjadi bahan lain yang diinginkan. Di dunia industri kimia, katalis merupakan komponen kunci karena dapat menghasilkan material dengan nilai guna tinggi.

Grandprix memelopori pengembangan senyawa MXene di Indonesia sejak tahun 2020. Senyawa MXene memiliki dimensi ketebalan dalam skala nanometer, sering disebut juga sebagai lembaran nano (nanosheet). Senyawa MXene memiliki keunggulan dalam konduktivitas listrik dan permukaan yang luas, sehingga diterapkan sebagai katalis dalam dalam berbagai proses kimia untuk produksi energi berkelanjutan, seperti evolusi hidrogen, dan reduksi karbon dioksida.

Tidak hanya penciptaannya, Grandprix juga melakukan modifkasi lebih lanjut melalui rekayasa permukaan dan penggabungan senyawa MXene untuk meningkatkan performanya sebagai katalis.

Doktor muda asal Nusa Tenggara Timur ini kemudian terlibat dalam proyek riset yang fokus pada pengembangan dan produksi bahan bakar nabati yang efektif, efisien, dan ramah lingkungan. Melalui kolaborasi bersama para peneliti senior di Pusat Rekayasa Katalisis ITB, Grandprix berkontribusi dalam menghasilkan katalis generasi baru yang disebut katalis ‘Merah-Putih’.

Katalis merah-putih saat ini sudah dikembangkan untuk produksi biofuel massal melalui kerjasama antara ITB, Pertamina, dan BUMN lainnya. Katalis tersebut berfungsi dalam meningkatkan kinerja katalitik untuk reaksi perengkahan minyak nabati menjadi bahan bakar bensin biohidrokarbon. Minyak nabati yang digunakan adalah minyak sawit, dan bahan bakar rintisan yang dihasilkan disebut Bensa, akronim dari Bensin Sawit. Bensa merupakan salah satu contoh alternatif energi berkelanjutan karena berasal dari biomassa, serta memiliki kualitas bilangan oktan atau RON (Research Octane Number) yang sangat baik.

Tercatat, hasil uji coba Bensa mencapai angka RON 115, jauh di atas angka RON Pertamax Turbo yang berada di angka RON 98. Keunggulan Bensa dari bahan bakar kendaraan alternatif lainnya adalah berupa senyawa hidrokarbon, yang sifat dan komposisinya mirip dengan bahan bakar bensin dari minyak fosil. Dengan demikian, Bensa dapat langsung digunakan sebagai bahan bakar dalam kendaraan bermotor ICE (Internal Combustion Engine).

Minyak sawit melalui rekayasa proses dengan menggunakan katalis dapat diubah menjadi berbagai bahan bakar seperti diesel, avtur, dan bensin/gasolin. Keunggulan dari penggunaan minyak nabati, termasuk minyak sawit karena sifatnya terbarukan dan berkelanjutan karena berasal dari biomassa, tidak seperti minyak fosil yang selama ini digunakan. Indonesia merupakan negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia dengan kontribusi hingga 59% atau 45,5 juta metrik ton (MT) dari produksi global.

Dari produksi minyak sawitnya, Indonesia sudah mencukupi kebutuhan dalam negeri dan selebihnya diekspor. Tentunya, proyek inovasi Bensa yang digagas oleh Grandprix dan para tim peneliti ITB sangat berpotensi menjadi game changer bagi pengembangan produksi sumber energi berkelanjutan di Indonesia dan di tingkat global.

Dalam penelitiannya di bidang material nano dan katalis, Grandprix telah banyak berkolaborasi dengan peneliti terkemuka dalam dan luar negeri. Lebih lanjut, hasil-hasil penelitiannya telah dipublikasikan di lebih dari 140 artikel ilmiah pada jurnal internasional bereputasi.

Grandprix juga telah menulis buku nasional terkait Kimia Dasar dan beberapa chapter book dalam buku internasional mengenai material nano dan katalis. Selain aktivitas mengajar di ITB, Grandprix focus memperdalam risetnya seputar material nano, serta aplikasinya sebagai katalis untuk energi berkelanjutan. Material nano yang dikembangkan oleh Grandprix juga telah dimanfaatkan sebagai adsorben dan membran filtrasi. Beberapa bahan berlapis nano, seperti

zeolit, oksida logam mesopori, silika mesopori teratur/tidak teratur, juga telah dikembangkan dan diterapkan lebih lanjut sebagai sorben dan katalis untuk memproduksi bahan bakar bersih dan berkelanjutan.

Berangkat dari kontribusi luar biasa dalam upaya pengembangan katalis untuk energi berkelanjutan di usianya yang masih sangat muda, maka Dewan Juri memutuskan Grandprix Thomryes Marth Kadja sebagai penerima penghargaan Achmad Bakrie tahun 2024 untuk kategori khusus ilmuwan muda.

Secara khusus, orang tuanya Oktovianus Kadja (60) dan Yane Kadja (60) hadir di Jakarta. Melalui sebuah kejutan yang dirancang penyelenggara acara. Hadir juga isteri dan buah hati jagoannya.

Di bangku undangan, para ’pendukung’ GP juga hadir. Ada Sekretaris Jenderal Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) Adi S Noegroho, pakar komunikasi marketing Hendry Nazwaldi, dan pebisnis bidang ini itu Joe Wijaya. Mereka datang mempersiapkan khusus topeng-topeng berwajah GP.

Selamat Grand Prix, bangga atas pencapaianmu… Teruslah berada di jalanNya.

Leave a Reply

Your email address will not be published.