Majalah kebangaan Gerakan Mahasiswa Kristen Surabaya (GMKI) terlahir kembali. NeoDedicatio, online version, sesuai perkembangan era digitalisasi media. Bangga diminta menjadi salah satu kolumnis. Terima kasih untuk Ketua Tim Redaksinya, Azarya Kairossutan Sacri Pusaka Dami. Ini salinan tulisannya. Link lengkapnya di sini.
Dalam hari-hari di mana waktu kerap dikonversi sebagai untung rugi, kerap timbul pertanyaan, buat apa ikut organisasi mahasiswa? Daripada capek-capek jadi aktivis yang tak mendatangkan profit secara langsung, mengapa tidak ikut magang di perusahaan, membantu penelitian dosen, atau mencari kegiatan lain yang jelas ‘cuan’-nya.
Hidup ini adalah pilihan. Termasuk juga ketika jalan baru memasuki kehidupan sebagai mahasiswa terbentang.
“Jangan lama-lama lulusnya. Ingat, Papa Mama mencari uang buat biaya kuliahmu itu tidak sedikit,” begitu pesan orang tua. Saat ini, Uang Kuliah Tunggal alias biaya pendidikan per semester rata-rata kampus sudah melewati angka Rp 10 juta. Khusus semester pertama, angkanya bisa membengkak tiga kali lipat karena sudah termasuk dengan pembayaran ‘Sumbangan Pengembangan Pendidikan atau ‘uang gedung’.
Maka, mengingat petuah orangtua itu, cara kita membalasnya adalah: memberi nilai Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) terbaik setiap semester, dan lulus cepat S-1 dalam kurun waktu 3,5 – 4 tahun. Setelah diwisuda jadi salah satu wisudawan terbaik, maka pekerjaan bergaji dua digit pun menanti, selaras dengan nilai dan kerja keras yang didapat saat jadi mahasiswa.
Tapi, apakah benar semua semudah itu, Ferguso?
Faktanya, tak semua lulusan tercepat dan terbaik di kampus bisa mendapat pekerjaan sesuai harapan. Kesuksesan akademik tak menjamin keberhasilan seseorang saat dihadapkan pada daya juang di tengah kerasnya kompetisi dunia kerja.
Untuk sukses, seseorang memang harus memiliki hard skll, yakni kemampuan dasar sesuai dengan bidang yang ditekuninya. Kalau kuliah komputer, ya harus kompeten di bidang teknologi informatika. Kalau kuliah komunikasi, ya harus jago dalam teori serta mengaplikasikan pada hal-hal praktis, mulai bikin rilis pers, desain iklan, membuat caption medsos yang keren, sampai editing video setidaknya kelas dasar.
Kalau kuliahnya ekonomi harus bisa menguasai sistem akuntansi dengan program-program terbarunya. Begitupula mahasiswa yang memilih kuliah hukum, kedokteran, sastra, psikologi, teknik, dan lain-lain. Kuasailah bidangmu dengan mumpuni (spesialis), lalu tambahkan pengetahuan sedikit-sedikit di bidang lain (generalis), sehingga kalau diajak bicara apapun, niscaya akan ‘nyambung’.
Tapi, hard skill saja tidak cukup. Ada juga elemen lain bernama ‘soft skill’. Contoh-contoh ‘soft skill’ antara lain: komunikasi (kemampuan berkomunikasi dengan baik), problem solving (kemampuan memecahkan masalah), kepemimpinan (kemampuan untuk memimpin diri sendiri dan memberikan arahan yang baik), kemampuan untuk beradaptasi, berpikir kreatif, berpikir kritis, kolaborasi dan kerja sama tim: kemampuan bekerja sama dengan orang lain, kemampuan untuk bernegosiasi, presentasi: kemampuan untuk melakukan presentasi, empati (kemampuan untuk memahami dan memahami emosi serta pengalaman orang lain), toleransi (kemampuan untuk bertoleransi dengan orang lain yang memiliki latar belakang, sifat, dan pola pikir berbeda), time management (kemampuan untuk menggunakan waktu secara efektif atau produktif), dan lain-lain.
Dari berorganisasilah kita bisa memperlengkapi kompetensi hard skill dengan kemampuan soft skill seperti itu. Dengan bergabung dengan organisasi, kita dilatih memiliki ‘fighting spirit’, termasuk kemampuan menggelar event, mencari dana, sampai manajemen konflik saat tanpa diprediksi ternyata mengalami gesekan dengan kawan seperjuangan. Bekal-bekal seperti itulah yang akan sangat berguna di dunia kerja, dan tak dimiliki oleh mahasiswa ‘yang penting lulus cepat’, bak barang dicetak dari pabrik.
Selain itu, ‘bonus’ lain dari berorganisasi adalah luasnya networking. Jejaring organisasi itu berperan penting dalam memuluskan penerimaan ke dunia kerja, pindah ke tempat kerja lain, serta memuluskan karir di bidang profesi yang kita geluti. Dari pejabat di lingkungan pemerintah kota, pengusaha, sampai menteri, rata-rata punya tingkat ‘aktivisme di atas rata-rata’, yang kemudian mengantarnya ke gunung-gunung prestasi dan karir berikutnya.
Tentu saja, seorang petugas sumber daya manusia atau HRD sebuah perusahaan akan lebih tertarik dengan pelamar kerja yang memiliki portofolio kuat: pernah jadi panitia ini itu, atau menjadi pengurus di berbagai organisasi kampus, gereja, olahraga, dan sebagainya. Daripada hanya melihat daftar riwayat hidup seorang pelamar yang hanya menonjolkan IPK di aats 3, tanpa punya sisi ‘plus-plus’ dalam pengembangan dirinya.
Selamat berorganisasi, jangan pernah menyesal telah dan akan ber-GMKI. Pintu sukses terbuka untuk mereka yang tak memilih jadi ‘kaum rebahan’ alias kelompok ‘kupu-kupu: kuliah pulang, kuliah pulang’.
Maju terus para intelektual muda Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia. Buktikan pilihanmu berorganisasi sebagai gerbang menuju keberhasilan, dan bukan sebagai ‘mahasiswa kaleng-kaleng’!
*Agustinus ‘Jojo’ Raharjo, senior GMKI Surabaya Maper 1996, lulusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Airlangga, jurnalis senior, praktisi public relations, bekerja di Jakarta