Sekian puluh tahun tak jumpa, sore ini kami meriung di salah satu mal kawasan Jakarta Barat. Wie Hay sudah jadi warga negara internasional, tapi ia tak mau melepas paspor hijau berlambang Garuda.
Ang Wie Hay, namanya. 52 tahun usianya. Ia mengenang saat 27 tahun lalu mengambil keputusan penting dalam hidup: meninggalkan Surabaya menuju Jepang.
”Situasi ekonomi di Indonesia begitu buruk. Saya bisa membaca itu. Sementara Jepang dikenal sedang kuat-kuatnya sebagai negara Asia yang hebat,” kata Wie Hay. Setahun sebelum terjadinya kerusuhan rasial, ia pamit kepada orang tuanya di kawasan Sutorejo, Surabaya Timur. Tak ada kepastian yang dituju di Jepang.
“Benar-benar seperti Abraham yang diutus Tuhan meninggalkan Ur-Kasdim menuju tanah perjanjian,” kisah ayah dua anak ini.
Pada 1997, Wie Hay baru saja lulus sebagai sarjana Teknik Industri Universitas 17 Agustus (Untag) Surabaya. Bahkan belum sempat wisuda. ”Kehidupan sangat susah saat itu. Saya dianggap sebagai warga negara asing, dengan akte kelahiran dari Tiongkok, karena ayah saya berasal dari sana,” tuturnya.
Karena kondisi itu, ia susah mencari tempat pendidikan berkualitas. Sebuah kampus swasta ternama di Surabaya menolaknya. Untung Untag menerima Wie Hay. Tak lama ia pun mengurus SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia). Belum sempat ganti nama -dari nama Tionghoa ke nama Indonesia-, Wie Hay keburu hijrah ke negeri matahari terbit.
Di Jepang, Wie Hay belajar dua ilmu sekaligus untuk gelar master. Sains Komputer dan Teologia. Satu di Osaka, satu di Kobe. Perjalanan ulang-alik ditempuh dengan kereta cepat Shinkansen. ”Saya kerap berjalan kaki ke kampus yang ada di atas gunung. Saking tak ada uang kala itu,” kata Wie Hay.
Tujuh tahun di Jepang, ia pindah ke Singapura. Salah satu penyebabnya, sekeras apapun kerja di Jepang, tetap tak akan bisa punya rumah di sana. Peraturan di negeri kaisar itu melarang warga asing membeli properti.
Di Singapura, Wie Hay merasa keahliannya begitu dihargai. Pekerjaannya sebagai profesional di bidang teknologi informasi membuatnya hidup berkecukupan. Ibaratnya, sebagai ekspert, ia dibayar saat bicara dalam hitungan menit. Begitupula isterinya yang seorang akuntan bersertifikat internasinal. Tapi, meski anak dan isterinya sudah jadi warga negara Singapura, Ang Wie Hay tetap mempertahankan status WNI.
”Saya hanya tersenyum kalau ada orang yang mempertanyakan nasionalisme saya, mengapa bekerja di negeri orang? Mereka tak tahu, saya begitu dihargai di sana dan sebenarnya bisa dengan mudah beralih kewarganegaraan dengan segala fasilitasnya. Tapi, saya tak mau,” kata Bendahara Badan Pengurus Cabang Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (BPC GMKI) Surabaya 1993-1996.
Saat jtu Ketua Cabang GMKI Surabaya dijabat Daniel Rohi didampingi Sekretaris Cabang Andreas Jonathan. Daniel kini menjadi politisi PDI Perjuangan, anggota DPRD Jawa Timur 2019-2024 dan Ketua Persatuan Intelegensia Kristen Indonesia (PIKI) Jatim). Sementara Andreas Jonathan menjadi doktor teologia dan pakar perbandingan agama di Yogyakarta. Selain ber-GMKI, pada periode yang sama, Wie Hay juga menjadi Staf Persekutuan Kristen Antar Universitas (Perkantas) Surabaya. Juga bersama Andreas Jonathan.

Negara tanpa sumber daya
Wie Hay mengungkapkan, Singapura negara yang tak memiliki sumber daya alam apapun. Untuk air harus impor dari Johor, Malaysia. Sementara untuk makanan, mereka mendatangkan kebutuhan pangan dari 180 negara.
”Di Singapura saya bisa makan mangga kapanpun. Tak ada musim mangga pada bulan tertentu, karena pemasoknya dari belahan bumi manapun di dunia. Tapi, sekalipun saya kerap makan buah Mangga dari Brasil, tetap tak ada yang bisa mengalahkan nikmatnya Mangga Manalagi dari Probolinggo,” katanya. Sayangnya, mangga dari Indonesia terlezat sedunia itu justru tak ditemukannya di negeri pulau itu.
Dua jam berbagi cerita di food court mall berteman dua porsi bakso kuah Afung dan seporsi Braised Pork Belly alias Samchan Babi Panggang dari kedai Song Fa, Wie Hay kembali mengedepankan pentingnya pembangunan manusia. Barita Sihaloho, seorang praktisi dunia pendidikan yang juga senior GMKI Surabaya lulusan Institut Teknologi 10 November, tekun mendengarkan.
”Pemerintah Singapura sadar negerinya tak punya sumber daya alam, karena itu sumber daya manusia harus dikuatkan. Sejak SMP para pelajar mendapat ipad terbaru, dan juga kelengkapan-kelengkapan belajar lain. Tak usah bawa buku saat sekolah, karena ilmu itu ada di ’cloud’,” urainya.
Tapi, bagi pria yang kerap diundang jadi pembicara di berbagai gereja di pelosok Indonesia ini, masih tak mudah menemukan jawaban bagaimana mulai menyelesaikan permasalahan di Indonesia.

”Bicara masa depan, bukan bicara pemimpin yang ada sekarang, tapi bagaimana anak-anak kita. Bicara anak-anak, berarti bicara pendidikan. Di situlah seharusnya perubahan dimulai,” tukasnya.
Hari-hari ini, Wie Hay mempersiapkan diri menjadi pembicara retreat internasional yang digelar empat tahunan. Kali ini Indonesia jadi tuan rumahnya di Bogor. Pesertanya puluhan orang dari berbagai negara, termasuk rombongan dari Jepang yang berangkat tepat di Hari Natal, 25 Desember 2024.
“Kita harus serius menyelesaikan persoalan negeri ini. Termasuk jika perlu harus memangkas satu generasi pegawai pemerintahan yang tak rela perubahan terjadi karena akan mengurangi keuntungan pribadi mereka,” pungkasnya.
Ia pamit, memesan taksi online dan menghilang di kerumunan pengguna eskalator. Rambutnya kian memutih, tapi darahnya merah menggelegak. Merah Putihnya Indonesia, bukan merah putih yang lain.