”Dalam hidup, kamu dihadapkan pada ribuan kemungkinan abstrak. Meski tampak seperti perjudian, Tuhan tidak pernah bermain dadu dalam memilin garis umatNya, Melainkan, Ia duduk sebagai bandar utama yang membuatmu mempertaruhkan segalanya.”
(Sisi Tergelap Surga, halaman 177)
Ini buku tentang Jakarta. Karya penulis muda Brian Khrisna. Terbitan Gramedia Pustaka Utama, tebalnya 301 halaman. Perlu waktu berhari-hari membaca buku yang saya beli di pameran buku Universitas Atma Jaya ini.
Jakarta, The Big Durian julukannya, bak akuarium penuh warna bagi orang yang melihat dari jauh. Tapi, begitu mengenal dan memelototi kota ini dari dekat, tampaklah kehidupan di ’slum’ alias titik-titik kumuh begitu menyentuh sisi kemanusiaan.
Seperti diceritakan di buku ini. Ada pekerja seks yang menjalani profesi demi memenuhi kebutuhan hidup, baik di ibu kota maupun untuk dikirim ke rumah. Ada Juleha, dan Rini.
Ada Samsuar Hasim, mantan bandar yang jadi penjual nasi goreng usai lepas dari penjara. Ada Kuncahyo, anak kerja yang kerja di mal seolah mentereng, padahal sebenarnya hanya penjaga toilet. Atau Danang, yang kalau malam berubah jadi ’Sis Dania’. Pun juga Gofar, seorang muda yang terpaksa menjadi pencuri motor demi membeli obat bagi ibunya yang stroke. Sementara Tomi menjadi preman terminal, setelah mimpinya jadi kuli dan buka usaha kala pertama menginjak Jakarta bersama Juleha, bubar jalan. Juga ada tokoh Esti, perempuan tercantik anak pak haji yang ternyata hamil sebelum menikah. Serta figur-figur orang kecil lain, juga para penindas seperti Pak Lurah tukang main cewek.
Buku ini penuh kutipan dan diksi menarik. Misal, Tuhan kadang suka bercanda. Penambrama kehidupan, yang artinya sebuah nyanyian penghormatan untuk tamu yang akan datang.
”Tak semua akan berakhir bahagia. Hidup tak lebih dari pagelaran nestapa, kita memerankan langkah yang menjalar dari satu luka ke luka lainnya. Terkadang belum selesai suatu masalah, kita dipaksa menghadapi masalah yang lain…”
Di akhir buku ini, tersemat ending kisah tiap tokoh. Tentu tak semua happy. Esti mati setelah menabrakkan motornya di tembok gang, sesaat setelah dilamar oleh Gofar. Sementara Juleha meninggal tertabrak truk saat jalan-jalan menyenangkan anak semata wayangnya, Ujang. Rini menikah dengan Brian, anak Lurah yang kerap menggagahinya di kantor. Sementara tiga anak pak badut yang hidupnya selalu nelangsa mendapat sukses di jalannya.
“Aku mewawancarai banyak orang yang terangkum ke dalam 18 karakter di buku,” kata Bhrian Khrisna.
Anak pedagang warteg yang merasakan nyata kerasnya kehidupan sebagai wong cilik itu menunjukkan kepada kita tentang hidup yang kadang tak adil. Tapi, jika semua bekerja keras, berusaha dengan konsisten, hasil manis akan menyertai.