Gowok: Kamasutra Jawa, Pelajaran Sejarah dan Perang Kanan vs Kiri

Menonton film Gowok dengan durasi lebih dari dua jam. Ini bukan film yang semata menontonkan vulgarisme, tapi juga bicara tentang perjuangan kesetaraan perempuan, peran besar Bung Karno mengangkat derajat wanita Indonesia, serta kisah sejarah pergolakan 1965.

Gowok dikemas menarik oleh sutradara Hanung Bramantyo berdasar novel ‘Nyai Gowok’ karya Budi Sardjono dan tradisi yang terabadikan dalam Serat Centhini. Bersama Indra Mulyana, saya menontonnya di Empire, Bandung Indah Plaza.

Film ini berlatar kawasan ‘Ngapak’ di Banyumas, Kebumen dan sekitarnya, tepatnya Desa Bumirejo, dan mengambil lokasi syuting di Studio Alama Gamplong, Sleman. Tahun yang diambil dari akhir 1950-an, 1965, sampai 1985.

Kisahnya mengangkat tradisi masyarakat Jawa tempo dulu, seorang remaja lelaki yang sudah disunat akan menjalani beberapa prosesi. Salah satunya adalah nyantrik pada seorang gowokGowok adalah perempuan yang akan mendidik remaja lelaki agar mengenal tentang seluk-beluk tubuh perempuan.

Konon, sebelum sampai di Jawa, gowok adalah tradisi dari istana di Tiongkok. Di Jawa, seorang wanita bernama Goo Wook Niang-lah yang mula-mula memperkenalkan cara mendidik remaja lelaki yang akan beranjak dewasa dengan diajak tinggal di rumahnya. Karena lidah orang Jawa sulit untuk melafalkan nama Goo Wook Niang, akhirnya mereka menemukan istilah yang mudah diingat, yaitu gowok.

“Jangan-jangan saya tertidur nonton film sepanjang ini,” ungkap saya ke teman nonton saat bioskop dengan penonton tak sampai 20 orang itu bersiap memutar adegan awal. Ternyata tidak, sejak menit pertama sudah ‘seru’, hehehehe…

Bintangnya pun bertabur. Dari Reza Rahadian, Lola Amaria -yang sudah sedekade tak turun di layar lebar, Alika Jantinia, Djenar Maesa Ayu, Devano Danendra, Slamet Rahardjo, Donny Damara, Nayla Purnama, Annisa Hertami, Aldy Bisl dan lain-lain.

Rumah produksi MVP Pictures dan Dapur Films ada di balik film Gowok: Kamasutra Jawa yang diperkenalkan secara resmi di 54th International Film Festival Rotterdam pada 2 Februari 2025 lalu.

Pada masa 1400-an, tradisi ini melibatkan seorang guru atau gowok yang mengajarkan keterampilan seksual kepada calon pengantin laki-laki. Dalam film ini, cerita berlatar waktu 1955-1965, dengan Nyai Santi sebagai gowok yang mengajarkan para calon pengantin laki-laki tentang seni memuaskan istri dan memperkenalkan tubuh perempuan.

Seiring berjalannya waktu, Ratri, anak angkat sekaligus murid dari Nyai Santi, jatuh cinta pada Kamanjaya, seorang pemuda bangsawan. Namun, hubungan mereka tidak disetujui oleh Nyai Santi yang merasa bahwa Kamanjaya tidak akan menepati janjinya untuk menikahi Ratri. Setelah bertahun-tahun, Ratri yang telah menjadi gowok legendaris kemudian dipercaya untuk mengajarkan Bagas, anak Kamanjaya, tentang seni seksual.

Selamat menyaksikan film ’Gowok’, terutama dalam perspektif yang berbeda. Ada kredit saya untuk peran ’Ningsih’ yang mengangkat derajat perempuan melalui pesan Bung Karno dan organisasinya ’Rupindo’.

Meski kemudian, cerita jadi bergeser tentang tuduhan -dan juga pembelaan- terhadap Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) sebagai jelmaan Rupindo (Rukun Putri Indonesia), dan operasi anti PKI yang dilakukan oleh sekelompok pemuda dari kalangan hijau.

”Overall, film ini bagus. Tidak bosan menontonnya. Kaya cerita sejarah juga, meski memang agak ’kekiri-kirian’,” kata sahabat saya, Indra Mulyana, dari kursi A6 Empire Teater Bandung Indah Plaza malam itu.

One Reply to “Gowok: Kamasutra Jawa, Pelajaran Sejarah dan Perang Kanan vs Kiri”

Leave a Reply

Your email address will not be published.