Aroma Karsa, yang Istimewa dari Dee Lestari

Pufffff…. membaca novel setebal 702 halaman dari Dewi alias Dee Lestari hampir sebulan penuh. Menarik sih, kembali mengikuti alur cerita menarik bak nonton film. Seperti juga ’Supernova’, ’Filosofi Kopi’ ’Rectoverso’ dan ’Perahu Kertas’ itu.

Detail. Itulah kesan jika Anda membaca karya-karya Dee. Sejak membaca Supernova lebih dari 20 tahun silam, saya sudah terbiasa menyandingkannya dengan membuka kamus, mengkonfirmasi setiap menemukan kata-kata baru. Saat itu belum semudah ini kita mengecek diksi lewat google atau Chat GPT.

Dewi mengakui, Aroma Karsa menggabungkan berbagai unsur sebagai konstruksi ceritanya. Ada petualangan, misteri, mitologi, epigrafi, keluarga, persahabatan, dan percintaan, yang dijalin dengan satu benang merah: aroma.

”Inilah karya fiksi yang paling indrawi, yang meski titik beratnya pada penciuman, jendela-jendela indra lain ikut dibuka dan distimulasi,” kata Dee di bagian ’Dari Penulis’ halaman-halaman akhir buku ini.

Lakon cerita ini ada pada Raras Priyagung, Tanaya Suma, dan Jati Wesi pada perjalanan mencari Puspa Karsa, sebagai sumber aroma yang akan menjadi masterpiece produk parfum bikinan Kemara.

Riset kuat dilakukan Dee. Dari TPA Bantargebang, Prancis, Mustika Ratu, Gunung Lawu, dan lain-lain.

Saya menemukan kutipan menarik saat Raras menelpon mentor Jati dalam kursus dunia parfum di Grasse, Prancis, yakni Arnaud Bouchard.

“Sejauh pengamatanmu, apa yang kira-kira perlu diperbaiki dari Jati?” tanya Raras.

”He’s absolutely brilliant. But, i don’t think he can work well in a team.”

Raras tertawa mendengar penjelasan Arnaud. “Ada orang yang tercipta menjadi elang. Ada yang memang cuma bisa jadi bebek. He’s an eagle. I’d like to keep him that way.”

Arnaud membalas, “Ducks work better for the industry, Raras. That’s why there are plenty of them in the world while the eagles go extinct.”

Menggambarkan kuatnya riset, Dee bercerita di post IG nya tahun lalu.

Tujuh tahun berlalu sejak riset Aroma Karsa. Selagi di Solo pekan lalu, saya singgah ke Ngargoyoso, menemui Pak Po. Yang sudah baca Di Balik Tirai Aroma Karsa, mungkin sudah tak asing dengan sosok beliau. Pak Po adalah salah satu narasumber saya di Aroma Karsa. Bagi warga Ngargoyoso, para pendaki/peziarah, termasuk para arkeolog yang meneliti candi-candi purba di seputar Lawu, Pak Po adalah nama rujukan utama. Selain aktif di Tim SAR, beliau sangat paham Gunung Lawu luar dalam, termasuk berbagai aspek mistis yang meliputinya.

Lima menit saya duduk di ruang tamunya, Beliau langsung menembak dengan pertanyaan, “Saya sudah lama ingin bertanya langsung ke Mbak Dewi. Darimana Mbak tahu semua detail itu? Banyak yang belum saya ceritakan langsung waktu kita jumpa tahun 2017, tapi kenapa Mbak Dewi tahu? Tentang Dwarapala, tentang Wong Banaspati, tentang hutan dimensi lain Alas Kalingga?” Saya tidak tahu bagaimana menjawabnya. Saya pun sama kagetnya dengan Beliau. Memangnya semua itu ada, ya? Akhirnya saya cuma jawab, “Mungkin ada yang bisikin, Pak.”

Siang itu kami makan bersama. Dua arkeolog muda yang kerap membantu Pak Po, Gana & Ahmad, juga ikut berbincang. Banyak kisah seru tentang Cemoro Pogog dan jalur tengah. Kami ngobrol hampir empat jam lamanya. Istri Pak Po memasak hidangan rumahan yang sangat nikmat, anak perempuannya membuatkan teh yang sungguh legit.

“Ketika saya baca Aroma Karsa, saya sudah tahu, cerita ini belum selesai,” kata Pak Po. Beliau benar. Akhir tahun ini, riset baru akan dimulai. Saya akan kembali ke Ngargoyoso.

“Belum ada lagi yang bisa menulis Gunung Lawu seperti Mbak Dewi,” ucap Pak Po menutup perjumpaan kami. Coming from him, it means a lot. A whole lot. Semoga kelanjutan Aroma Karsa dapat mengungkap dengan lebih dalam, lebih kaya.

Bacalah novel ini. Tujuh ratus halaman tidak terlalu tebal untuk petualangan-petualangan dan imajinasi yang disajikan!

Leave a Reply

Your email address will not be published.