Komisi II DPR RI menegaskan pentingnya menyelesaikan persoalan ketimpangan pertumbuhan ekonomi di wilayah Free Trade Zone (FTZ) Kepulauan Riau, yang meliputi Batam, Bintan, dan Karimun.
Pernyataan itu disampaikan Ketua Tim Kunjungan Spesifik (Kunspek) Komisi II DPR RI, Dede Yusuf, dalam pertemuan bersama Wakil Gubernur Provinsi Kepulauan Riau Nyanyang Haris Pratamura di Gedung Daerah Tanjungpinang, Senin, 29 September 2025.

Komisi II DPR RI menyoroti ketimpangan pertumbuhan ekonomi di wilayah Free Trade Zone (FTZ) Kepulauan Riau. Meskipun Batam mengalami kemajuan pesat, daerah lain seperti Bintan dan Karimun belum merasakan dampak signifikan dari kebijakan perdagangan bebas.
“Free trade zone ini seharusnya memberi dampak yang merata. Namun berdasarkan paparan dari kepala daerah dan wakil gubernur, terlihat pertumbuhan ekonomi masih sangat timpang. Batam maju, tapi Bintan dan Karimun tertinggal,” kata Dede Yusuf yang juga Wakil Ketua DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat.

Pada pertemuan ini, Dede Yusuf didampingi Wakil Ketua Komisi II DPR RI lain Aria Bima (F-PDI Perjuangan), dan anggota tim Deddy Sitorus, Bob Sitepu (F-PDI Perjuangan), Taufan Pawe, Agustina Mangande, Ahmad Irawan (F-Partai Golkar), Indrajaya, Ali Ahmad (F-PKB), Ujang Bey (F-Partai Nasdem), dan Edy Pasaribu, Wahyudin Noor Aly (F-PAN).
Sementara itu, selain Wakil Gubernur, Tim Kunspek Komisi II DPR RI diterima Asisten II Pemerintahan Provinsi Kepulauan Riau Luki Zaiman Prawira, Direktur Penataan Daerah, Otsus, dan DPOD Kementerian Dalam Negeri Sumule Tumbo, Direktur Penertiban Penguasaan, Pemilikan dan Penggunaan Tanah Kementerian ATR BPN Shafik Ananta Inuman, Sekretaris Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) Komjen Pol. Makhruzi Rahman, Kelompok Ahli BNPP Nur Kholis, Wakil Walikota Tanjung Pinang Raja Ariza, dan Wakil Bupati Bintan Deby Maryanti.

Menurut Dede, salah satu kendala adalah posisi Badan Pengelola (BP) FTZ yang langsung berada di bawah Presiden, setara dengan kementerian. Kondisi ini membuat pemerintah daerah tidak bisa terlibat penuh dalam mengelola pembangunan. “Ada tumpang tindih kewenangan. Pemerintah daerah tidak bisa in charge langsung, karena badan pengelola itu langsung berhubungan dengan pusat,” jelasnya.
Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Aria Bima, menegaskan bahwa pengelolaan kawasan Free Trade Zone (FTZ) Batam, Bintan, dan Karimun (BBK) membutuhkan regulasi yang jelas agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan antara pemerintah daerah dan otoritas pusat.

Menurut Aria Bima, penetapan FTZ yang berlaku sejak 2007 hingga kini belum menunjukkan keselarasan tata kelola. Ia menilai, masih ada tarik-menarik kewenangan antara Gubernur Kepri, Wali Kota Batam, dan Badan Pengelola Batam. “Kita ingin memastikan apakah Perpres FTZ ini sudah cukup memberi kewenangan yang searah, atau justru membuat pengelolaan jadi tumpang tindih,” ujarnya.
Kehadiran Komisi II di Kepri dimaksudkan untuk mencari solusi atas kebuntuan yang terjadi di lapangan. “Grand design itu harus menjadi payung besar. Jangan sampai Pemprov terpinggirkan, sementara Wali Kota Batam dan Badan Otorita justru lebih dominan. Pendulum ini harus ditarik ke tengah,” tegasnya.
