Catatan pelesir ke negeri kaya di ujung Borneo. Dimuat di rubrik Perjalanan Koran Tempo Minggu, 2 Maret 2008.
Menjelang perayaan kemerdekaan Brunei Darussalam, saya berkunjung ke salah satu negara terkaya di dunia ini. Pagi pada pertengahan Februari 2008, saya tiba di Bandara Internasional Bandar Seri Begawan. Sebuah pelabuhan udara nan sunyi dengan baliho besar mengucap selamat datang: “Brunei, The Greenheart of Borneo, Kingdom of the Unexpected Treasures”. Suasana lengang menyergap di pintu masuk negeri berpenduduk 383 ribu jiwa, tapi tak ada sedikit pun rasa was-was di sana.
Setengah jam kemudian, Mahadi, pengemudi jemputan hotel, datang memberi salam. “Tenang saja, di sini hampir tidak ada tindak kriminalitas,” kata pemuda Melayu yang baru lulus dari sekolah menengah itu.
Melintasi jalan utama menuju kawasan Gadong, tampaklah Masjid Jami Omar Ali Saifuddin di kiri jalan. “Tak lengkap rasanya kalau turis tidak mampir ke situ,” katanya menunjuk masjid. Menurut Mahadi, selain berfoto di depan masjid, “hukum wajib” lain bagi wisatawan adalah singgah ke halaman Istana Nurul Iman, tempat Sultan Hassanal Bolkiah, yang berkuasa sejak berusia 21 tahun, 5 Oktober 1967.