Catatan pelesir ke negeri kaya di ujung Borneo. Dimuat di rubrik Perjalanan Koran Tempo Minggu, 2 Maret 2008.
Menjelang perayaan kemerdekaan Brunei Darussalam, saya berkunjung ke salah satu negara terkaya di dunia ini. Pagi pada pertengahan Februari 2008, saya tiba di Bandara Internasional Bandar Seri Begawan. Sebuah pelabuhan udara nan sunyi dengan baliho besar mengucap selamat datang: “Brunei, The Greenheart of Borneo, Kingdom of the Unexpected Treasures”. Suasana lengang menyergap di pintu masuk negeri berpenduduk 383 ribu jiwa, tapi tak ada sedikit pun rasa was-was di sana.
Setengah jam kemudian, Mahadi, pengemudi jemputan hotel, datang memberi salam. “Tenang saja, di sini hampir tidak ada tindak kriminalitas,” kata pemuda Melayu yang baru lulus dari sekolah menengah itu.
Melintasi jalan utama menuju kawasan Gadong, tampaklah Masjid Jami Omar Ali Saifuddin di kiri jalan. “Tak lengkap rasanya kalau turis tidak mampir ke situ,” katanya menunjuk masjid. Menurut Mahadi, selain berfoto di depan masjid, “hukum wajib” lain bagi wisatawan adalah singgah ke halaman Istana Nurul Iman, tempat Sultan Hassanal Bolkiah, yang berkuasa sejak berusia 21 tahun, 5 Oktober 1967.
Siang hari, saya bertemu dengan Sekretaris Pertama Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Brunei, Tjoki Aprianda Siregar. Kami menyantap nasi lemak dan Soto Brunei berteman teh tarik sembari penikmati pemandangan Kampung Ayer, salah satu primadona wisata di Bandar Seri Begawan.
Indonesia dominan
Tjoki mengatakan, jumlah warga Indonesia di negeri ujung Pulau Kalimantan dengan luas 5.765 kilometer persegi itu cukup banyak. “Data resminya, 43.747 warga negara Indonesia terdaftar di sini,” tuturnya. Kebanyakan dari mereka, kata Tjoki, bekerja di sektor informal, mulai asisten rumah tangga, pelayan toko dan restoran, awak bus, hingga pekerja bangunan. Namun, khusus di Distrik Belait, sekitar 700 insinyur Indonesia bekerja di lading-ladang minyak di sana. “Karena memang mendapat fasilitas perumahan, sebagian besar dari mereka memboyong keluarga,” ujar Tjoki.
Dengan jumlah tenaga kerja Indonesia yang mencapai sepersepuluh dari penduduk Brunei, di banyak tempat mudah dijumpai arek-arek Jawa Timur atau akang-akang dari Sunda. “Tempat penukaran uang bersaing menawarkan nilai tukar rupiah termurah, sedangkan di sebuah pusat belanja, lantunan lagu dari keping cakram Anggun dan Peter Pan seperti berlomba menembus pasar internasional.
Pada minggu-minggu awal Februari, Brunei tengah sibuk bersolek dalam kegembiraan Hari Kebangsaan, yang jatuh pada 23 Februari, merujuk pada tanggal lepasnya negara itu dari status protektorat Inggris, 28 tahun silam. Tak tanggung-tanggung, Sultan memerintahkan warga memasang bendera kebangsaan selama lebih dari tiga pekan, ditamabah semarak lain dari aneka spanduk dan papan ucapan di berbagai bangunan. Tahun 2008, secara khusus, peringatan Hari Kebangsaan Brunei mengambil tema “Tunas Bangsa”, yang artinya harapan baru bagi tampilnya anak muda sebagai tulang punggung Brunei di masa depan.
Potret wajah Sultan Hassanal Bolkiah dalam pakaian kemiliteran bertebaran di jalan-jalan sebagai wujud kemeriahan Hati Kebangsaan. Ini memang satu dari tiga hari keistimewaan dalam Kesultanan Brunei, selain har lahir Sultan setiap 15 Juli, yang diperingati sebagai Hari Keputeraan, dan Hari Naik Takhta pada 5 Oktober.