Ini buku ketiga, tapi inilah masterpiece seorang Faisal Assegaf, yang kini mempopulerkan istilah ‘Hamaslovers’ di Indonesia.

Saya mengenal Faisal Assegaf sebagai seorang kawan seperguruan di Tempo, sebuah institusi terhormat di ranah jurnalisme Indonesia. Dia kerap mengaku bukanlah murid yang baik di ‘sekolah’ itu. Jarang datang rapat, dan tingkahnya seenak sendiri. Tapi, soal proses dan hasil kadang tidak mesti seiring dan sebangun. Di balik kebengalannya itu, Faisal membelalakkan mata para penggede saat wawancara eksklusifnya muncul di koran keesokan hari. Ia bukanlah seorang yang banyak omong, tapi dari bicaranya yang sedikit itu, orang haruslah percaya. “Ramos Horta kalau ke Jakarta selalu telpon gue, Jo,” itu salah satunya. Tak ada nada sombong di sana.
Dan, untuk menunjukkan kehebatannya, bacalah halaman-halaman belakang buku ‘Gaza, Simbol Perlawanan dan Kehormatan’. Mengapa halaman belakang? Karena di halaman 172-174 itulah tertera daftar bagaimana Faisal mewawancarai narasumbernya, baik saat bersua maupun melalui sambungan telepon.
Continue reading “Gaza, Perlawanan dan Kehormatan: Faisal dan Bukunya yang Bercerita”