Memotret Social Designee, Memotret Passion untuk Jiwa Sosial

Video karya mahasiswa mata kuliah TV Production Universitas Multimedia Nusantara ini mengambil lokasi outdoor, mengisahkan seseorang dengan passion kuat di bidangnya, serta memiliki kepedulian sosial tinggi pula.

Mengambil nama program ‘Harian Naldo’, sang host Greenaldo Karol bahu membahu dengan Michael Josua, Rizki Pahlevi, Azmy Gilang, dan Franny Fransisca memilih untuk menampilkan secara personal Ryan Sucipto. Ryan, seorang mahasiswa yang dikenalnya dari Instagram, diangkat karena memiliki keahlian khusus namun juga kepedulian sosial tinggi.

Proses menemukan gerakan sosial ini digambarkan dengan menarik, dimulai bumper program keren lalu sekuens Naldo membuka jaringan internet dari laptopnya lalu mencari narasumber dimaksud.

Komunitas ‘Social Designee’ yang didirikan Ryan dianggap patut ditonjolkan karena memiliki 600 relawan dalam delapan desa binaan, di usianya yang baru dua tahun.

Bangunan konsepnya menarik, bagaimana komunitas ini melakukan pendampingan sosial untuk memberikan berbagai edukasi di desa. Bayangannya, tentu akan muncul gambar-gambar menarik dalam tiap segmennya.

Sayang, segmen awal tayangan ini cenderung membosankan. Hanya perbincangan antara Naldo dan Ryan di taman UMN kurang memberi greget. Seharusnya, di tengah dialog ada insert-insert yang memadai. Misalkan footage kegiatan –yang bisa didapat dari dokumentasi komunitas- atau gimmick-gimmick lain, seperti saat Ryan menyebutkan daerah-daerah ‘binaannya’.

Saat itulah, bisa dimasukkan peta, karena tak semua pemirsa tahu peta di mana itu Carang Pulang, Medang, Babakan, Pondok Jengkol, dan Rawa Buaya. Kurangnya grafis dan chargen menjadi sisi lemah tayangan program ini.

Begitupula masuk ke segmen berikutnya yang langsung ke lapangan. Sebaiknya, ada CG lokasi, menunjukkan di mana desa itu, sekaligus grafis atau narasi host yang menjelaskan, berapa jauh perjalanan Carang Pulang dari kampus dan sebagainya.

Problem utama dari tayangan ini adalah durasi terlalu panjang. Instruksi program Ujian Akhir Semester adalah 30 menit kotor atau sekitar 24 menit bersih (dikurangi dua kali commercial break). Dengan menyajikan hampir 36 menit full tayangan, tentu saja kebosanan pemirsa lebih mudah timbul dan godaan ganti kanal lebih besar.

Di sinilah pentingnya kekuatan perencanaan dan keberanian mengeksekusi dalam proses pasca produksi (editing). Lagi-lagi contohnya di segmen pertama yang menyuguhkan dialog full hingga 13-14 menit. Dialog sepanjang itu begitu lama, dan harusnya tim lebih berani memotong, tak semua perbincangan layak masuk dalam layar. Apalagi di segmen berikutnya ada dialog yang lagi-lagi dengan narasumber yang sama.

Secara umum, komposisi wawancara sudah benar, dengan menggunakan lebih dari satu kamera. Sedikit catatan, kamera untuk master harsunya lebih wide atau ambil sebatas lutut. Note lain, pemilihan background tempat untuk wawancara di segmen pertama kurang diperhatikan. Ada batang pohon yang sangat menggangu sehingga menimbulkan bayangan antara gelap dan terang.

Catatan plusnya, transisi antara video dengan memasukan video permainan seperti ‘Teka-Teki Tangan’ . Penggunaan timelapse juga patut diacungi jempol.

Catatan Tim Harian Naldo

Michael Josua, sebagai campers, scriptwriter dan editor happy dalam pengerjaan tugas ini karena diberi kebebasan dalam menentukan tema dan juga jenis program. Nama program Harian Naldo diambil dari konsep blogging dan pertemuan host yang bernama Naldo dengan orang-orang yang menginspirasi anak muda. “Selain nama program, kami juga menentukan panggilan kepada pemirsa ‘Sobat Naldo’. Nama ini kami pilih karena kami merasa dengan sebutan sobat, host dapat terdengar lebih akrab dengan pemirsa,” kisah Michael.

Michael menegaskan, storyline yang jelas akan sangat membantu dalam mengemas sebuah video dengan baik. “Saya merasa cukup senang bekerja memproduksi sebuah program TV seperti ini.

Azmy Gilang yang menjadi produser, campers, sekaligus editor menekankan, konsep tayangan ini memang untuk membuat konten atau topik tentang anak muda yang memiliki aksi dan yang pasti bisa memberikan energi positif. “Syukurlah, bisa bertemu founder Social Designee, Ryan Sucipto sebagai narasumber tepat dan bisa diajak kerjasama dalam program ini,” ungkapnya.

Adapun juru kamera Franny Fransisca menekankan pentingnya kerjasama tim. “Keempat anggota kelompok saya sangat dapat diandalkan. Mereka memiliki peranan masing-masing dalam kelompok ini,” paparnya.

Juru kamera lain Rizki Pahlevi mengaku, yang paling sulit dalam liputan ‘Harian Naldo’ adalah mengambil momen-momen penting saat liputan. “Saya harus melakukan pendekatan dengan anak-anak,” paparnya.

Sang host Greenado Karol menekankan, bagian tersulit adalah saat ‘brainstorming’ awal. Hal menarik yang kelompok kami dapatkan ialah ketika kami bingung menentukan nama program sehingga harus berdiskusi keras dengan waktu yang cukup lama. Akhirnya, mereka pun sepakat untuk menamai program ini ‘Harian Naldo’.

“Saya pribadi memiliki pengalaman yang berkesan pada kelompok ini karena saya merasa kami cukup kompak sehingga dapat meminimalisir kendala atau permasalahan yang mungkin bisa terjadi kapan saja,” kenangnya.

Selain itu, ia juga banyak mendapatkan wawasan dari teman satu kelompok karena sering sharing dan terbuka untuk memberikan ide dalam pembuatan tayangan ini.

Naldo, setidaknya banyak hal yang bisa saya peroleh untuk menunjang karir yang akan digeluti di masa depan, mulai dari atitude di depan kamera, pelafalan yang jelas, dan hal teknis lainnya. “Semua kesalahan yang terjadi dalam segmen ini dapat menjadi tolak ukur saya untuk bisa bersaing dengan teman-teman yang sekiranya akan terjun dalam dunia jurnalistik televisi kelak,” harapnya.

Overall, secara ide dan konsep sangat bagus dan layak diapresiasi, meski secara penataan visual memang banyak yang harus diperbaiki lagi.

Burung Nuri berbayang-bayang, terimakasih tim ‘Harian Naldo’ tersayang…

Leave a Reply

Your email address will not be published.