Masih banyak masyarakat, terutama di kalangan bawah, belum paham ancaman perubahan iklim dan pemanasan global yang kini menjadi pembicaraan dunia. “Para petani di Jawa hanya mengaitkan keadaan saat ini dengan kosmologi Jawa. Bahwa tiap sepuluh tahun selalu ada musim yang kacau,” kata Raja Siregar, seorang pegiat perubahan Iklim dan pakar Adaptasi perubahan iklim dalam serial diskusi “Climate Change” dengan jurnalis di Jakarta, baru-baru ini.
Raja Siregar menambahkan, pemanasan global setidaknya membawa tiga sumber bencana, yakni naiknya temperatur, serta ketidakteraturan intensitas curah hujan dan pola curah hujan. “Temperatur cenderung meningkat, sementara curah hujan tidak ada pola. Akibatnya, petani bingung memutuskan mau menanam apa?” kata Manajer Kebijakan, Advokasi, dan Kampanye Oxfam GB Indonesia itu.
Rangkaian diskusi yang digelar menjelang Konferensi Perubahan Iklim di Cancun, Mexico, akhir tahun mendatang ini juga menekankan perlunya pendekatan khusus agar orang lebih paham akan permasalahan ini. Masyarakat tidak berempati pada masalah perubahan iklim, jadi harus dibangkitkan emosinya. “Dalam hal ini kesadaran analitiknya yang dibangkitkan, seperti pada film An Inconvenient Truth yang disutradarai Al Gore. Membuat orang berpikir, apa yang akan terjadi,” kata wartawan lingkungan senior Harry Surjadi.
Saat ini, berita tentang aneka bencana alam tengah mendominasi media –mulai banjir papua, gempa serta tsunami di Mentawai, sampai erupsi Gunung Merap, namun janganlah kita lupa pada ancaman perubahan iklim dan pemanasan global, yang bahayanya terus mengancam bumi kita tercinta beberapa tahun terakhir. Dibutuhkan pemahaman yang benar, sehingga dapat menghasilkan langkah antisipasi yang benar pula, dalam upaya penyelamatan lingkungan menghadapi bahaya perubahan iklim.