Ini kisah yang saya dapat dari kegiatan belajar S-2 saya hari ini, Magister Ilmu Komunikasi, tepatnya pada sesi kuliah Perspektif Teori Komunikasi, dibawakan doktor komunikasi, Emrus Sihombing.
Pernah mendengar tentang teori looking glass self? Sederhananya, konsep yang diperkenalkan oleh sosiolog Amerika Charles Horton Cooley pada 1902 ini menekankan bahwa keberadaan seseorang berkembang berdasarkan interaksi dan persepsi orang lain. Kita bertumbuh menurut apa yang orang lain –khususnya orang-orang terdekat, orang-orang kepercayaan kita seperti suami/isteri, orangtua, boss- persepsikan mengenai diri kita.
Kalau orang lain berpikir kita hebat, maka begitulah jadinya. Sebaliknya, seseorang juga cenderung percaya pada persepsi orang yang mengatakan bahwa ia bodoh, maka demikianlah ia adanya. Konsep ini disebut ‘looking glass’. karena diri seseorang merupakan pencerminan dari penilaian orang lain, tak ubahnya cermin diri yang kita lihat di gelas.
Dalam komunikasi, teori-teori seperti ini memang tak asing. Manusia dan benda-benda lain menjadi seperti apa yang kita ucapkan. Yang paling fenomenal tentu penelitian Profesor Masaru Emoto dari Jepang yang membuat eksperimen Nah, cerita tentang ini saya dapat dari dosen yang lain, Heri Budianto, pada mata kuliah matrikulasi bulan lalu.
Bahwa air bukan sekadar benda mati yang tidak bereaksi terhadap alam sekitarnya, sebaliknya air hidup dan bereaksi terhadap apa yang terjadi kepadanya, bahkan, air juga merespons sikap manusia terhadapnya, hasil penelitian Emoto menunjukkan bahwa air itu hidup sebagaimana manusia, air bereaksi hampir sama seperti manusia, air bisa ngambek kalau dimarahi, air bisa senang ketika dipuji, air bisa gembira ketika mendengar kata-kata yang indah, dan air bisa berantakan ketika ketakutan.
Hasil penelitian ini dituangkan dalam buku Message from Water (SMS dari Air) yang sekarang menjadi buku terlaris di dunia, dan sudah diterjemahkan kedalam berbagai bahasa termasuk Indonesia, dalam eksperimennya, Emoto mengambil air dari Waduk Fujiwara di Jepang yang kemudian dibawanya kepada pemimpin ritual Kato Hoki dari Kuil Jyuhoin.
Sang pemimpin ritual kemudian mengadakan upacara peribadatan selama satu jam dengan bermeditasi dan membaca doadoa suci ajaran Shinto, setelah satu jam, Prof Emoto kemudian membawa air itu ke laboratorium dan memotretnya dengan peralatan fotografi khusus, Hasilnya sungguh mengejutkan : Molekul air dari dam yang belum diberi doa-doa ternyata menunjukkan bentuk yang tidak beraturan dan cenderung kotor kehitam-hitaman. Doa dan meditasi terus menerus, seperti di sumber air zam-zam di Mekkah dan di sumber air di Lourdes, diyakini juga terus menerus membuat kualitas molekul airnya menjadi amat bagus.
Sementara air yang sudah diberi doa berwarna terang bersinar seperti kristal dengan bentuk segi lima ( hexagonal), Emoto sangat terkejut melihat hasil penelitiannya. Ia pun memberinya nama air heksagonal, dalam penelitian lanjutan, hasilnya ternyata lebih mengherankan lagi. Emoto mengambil segelas air lalu memperdengarkan lagu klasik karya Bach berjudul Goldberg Variation, hasilnya, air itu mengeluarkan bentuk kristal indah dengan warna kebiru-biruan.
Kemudian, Emoto mengambil air lain dan memperdengarkan lagu Heartbreak Hotel karya raja rock and roll Elvis Presley, hasilnya, air itu warnanya kehitam-hitaman dengan kristalnya menghilang berganti bentuk yang terpecah-pecah, Emoto mencoba lagi mengambil air dan memperdengarkan lagu heavy metal, Hasilnya? Mudah ditebak; bentuk air berantakan dan tidak ada lagi kristal, serta warnanya keruh. Anda ingin tahu bagaimana Kristal-kristal air bereaksi saat diperdengarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya? Ada di sini.
Emoto yang sama juga melakukan penelitian tentang nasi, yang juga mayoritas komponen penyusunnya adalah air. Konon, ada keluarga yang mengamati perilaku nasi. Tiga jumput nasi yang ditaruh dalam wadah, diperlakukan berbeda oleh keluarga itu. Tiap pagi, keluarga itu mengucapkan “Terima Kasih dan Cinta” pada nasi pertama. Yang kedua diberi ucapan “Kamu bodoh” dan yang terakhir didiamkan saja tanpa diberi ucapan sama sekali. Setelah diamati, ternyata nasi yang pertama paling lama membusuk alias paling awet dan nasi ke tiga adalah yang paling cepat busuk.
“Rupanya nasi lebih bisa merespon ungkapan Kamu Bodoh daripada nasi yang tak diapa-apakan sama sekali,” begitu penjelasannya. Ia lantas membandingkan dengan perilaku karyawan di perkantoran yang bakal lebih cepat stress bila tidak diberi job yang jelas dan tidak diajak bicara. Karyawan jenis ini adalah tipe nasi yang ketiga. “Ujung-ujungnya karyawan yang diperlakukan demikian akan keluar dan bisa jadi bunuh diri,” tambah Emoto.
Ada pelajaran berharga dari kisah Emoto tadi. Rupanya mencaci maki orang lain masih bisa diterima olehyang bersangkutan daripada tidak mengajaknya bicara sama sekali. Bersikap cuek justru lebih menyakitkan dari pada bersikap memusuhi.
Got a deal? Jadi, kalau air dan nasi saja bisa memahami persepsi orang terhadapnya, apalagi manusia yang berakal budi ini. Tapi, tetap lebih berbahagia mereka yang dimaki, daripada dicuekin sama sekali.
Wah, mantab sekali pelajarannya. Yang nasi malah saya baru tahu dari blogmu ini…
Luar biasa , ternyata Air itu suatu Zat sangat Flxibel banget, bentuk molekol nya sangat ber ubah2, sesuai dg iklim di lingkunganya, senang, susah, religius, dan sebagainya
wahhh, z mendapatkan pengetahuan baru dari blok anda ini….
ternyata setiap benda selayaknya di perlakukan seperti manusia……
Ssiipp
amazing!