Dewan Pers tegaskan tak ada lagi kriminalisasi pers

Polemik kematian Ridwan Salamun diharapkan terjawab di pengadilan.

Dewan Pers harapkan kesepahaman antar pegiat pers.

Sebagai lembaga independen yang lahir dari semangat reformasi dan Undang-Undang Pers No. 40/1999 Dewan Pers terus melakukan berbagai upaya untuk menjaga kemerdekaan pers di negara ini. Salah satu langkah yang dilakukan yakni menggelar pertemuan seri bersama para stakeholder untuk menyikapi kekerasan dan pemidanaan terhadap wartawan.

Pertemuan pertama berlangsung Kamis (4/11) dihadiri berbagai elemen, termasuk Kepala Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Pol Iskandar Hasan, Pemimpin Redaksi Sun TV Apni Jaya Putra, Direktur LBH Pers Hendrayana, AJI Jakarta, dan wakil dari Kementerian Luar Negeri.

Even ini juga sebagai sarana penegasan pernyataan menyikapi kekerasan dan pemidanaan terhadap wartawan, yang dikeluarkan Dewan Pers, 12 Oktober lalu. Dalam pernyataan itu disebutkan, Dewan Pers menolak kriminalisasi terhadap wartawan karena bertentangan dengan semangat kemerdekaan pers sebagai salah satu pilar demokrasi. Selain iut, Dewan Pers menekankan bahwa setiap pelanggaran kode etik jurnalistik yang dilakukan oleh pers atau wartawan seharusnya diselesaikan dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 40/1999 tentang Pers.

“Kami berharap, dengan pertemuan ini, MOU antara Dewan Pers dan Kapolri segera ditandatangani,” kata Ketua Dewan Pers Bagir Manan. Konsep nota kesepahaman yang menggarisbawahi tidak adanya kriminalisasi pers itu telah berproses selama tiga kapolri (Sutanto, Bambang Hendarso Danuri, dan kini Timur Pradopo), namun tak juga kunjung disahkan.

Sementera itu, Direktur Informasi dan Media Kementerian Luar Negeri, Agustinus Sumartono berharap, pers harus memberitakan peristiwa lebih obyektif. “Jangan sampai media Indonesia menjadi public relations yang buruk di luar negeri, karena hanya memberitakan sisi negatif Indonesia,” katanya. Sumartono mengingat kisah saat 12 tahun lalu bertugas di Italia ketika reformasi politik terjadi di Indonesia. “Anak saya tak mau pulang ke tanah air karena menyaksikan kejadian di tanah air yang kami saksikan di televisi,” kenangnya.

Ia menegaskan, salah satu cara untuk menghasilkan berita yang berkualitas itu harus dimilai dengan rekrutmen jurnalis yang ketat serta adanya pelatihan yang kontinyu. “Saya berharap organisasi profesi jurnalis yang ada sekarang rutin menggelar pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan profesionalisme wartawan,” kata pria yang mengaku ‘hampir’ menjadi wartawan Kompas dan Tempo, sebelum memutuskan berkarir sebagai diplomat.

Harapan agar media memberitakan hal yang positif ini juga diungkap anggota Dewan Pers Agus Sudibyo, mengutip pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat menerima Dewan Pers pekan lalu. “Saat itu presiden membandingkan dengan siaran Channel News Asia, yang tidak sedetikpun menampilkan informasi negatif tentang Singapura,” kata Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Dewan Pers itu.

Hal senada diungkapkan oleh anggota Dewan Pers lainnya, Bekti Nugroho, yang berharap kehadiran media menjadi pembawa perdamaian di masyarakat, dan bukan sebaliknya. Mantan jurnalis RCTI ini mengungkapkan, selama ini, tak jarang konflik massa sering memanas justru karena kehadiran dan pemberitaan media. “Pernah ada cerita, sebuah perkelahian antar desa yang berlangsung seharian di Sulawesi dihentikan sementara, hanya karena baterei juru kamera televisi yang meliput peristiwa itu habis. Setelah batereinya terisi penuh, perkelahian warga kembali berlangsung dengan serunya,” kata Ketua Komisi Hubungan Antarlembaga dan Hubungan Luar Negeri Dewan Pers ini.

Bagir Manan berharap kejelasan kematian Ridwan Salamun terkuak di pengadilan.

Bagir Manan menyatakan, pertemuan serupa diagendakan berjalan rutin, untuk meningkatkan kesepahaman di antara para pegiat pers. “Kita juga harus sering melakukan investigasi kasus secara bersama-sama, jangan sendiri-sendiri demi mengejar rating masing-masing organisasi,” kata Bagir. Ia mengingatkan terbatasnya kewenangan pers, yang hanya berada di jalur kode etik, dan tak memiliki kewenangan hukum.

Sementara itu, baik Dewan Pers dan Mabes Polri juga berharap, polemik mengenai keterlibatan almarhum Ridwan Salamun juga segera diluruskan. Mendiang wartawan Sun TV di Tual, Maluku Tenggara itu kini diduga bukan meninggal dalam tugasnya sebagai wartawan peliput konflik massa, tapi justru sebagai salah satu pelaku kerusahan.

“Dari sisi hukum, menetapkan orang yang sudah meninggal sebagai tersangka adalah tidak tepat,” kata mantan Ketua Mahkamah Agung ini. Pihak kepolisian berharap, pengadilan yang segera digelar dapat menjelaskan fakta sebenarnya. “Memang ada fakta-fakta berbeda dalam kasus ini. Kita hormati saja pengadilannya yang dalam waktu dekat segera digelar,” kata Iskandar.

Jojo Raharjo

* tulisan ini juga dimuat di http://mediaindependen.com

Leave a Reply

Your email address will not be published.