#Football Evangelist: Merindukan sepakbola tanpa kebencian

Sektor paling crowded, Jakmania paling semangat.

Hari ini kutinggalkan pekerjaan

siap-siap buat nonton pertandingan

orang bilang aku sudah kesurupan

demi Persija apapun kulakukan,

Persija Jakarta… o..o.. o..

Sudah lama saya tidak menikmati pertandingan sepakbola langsung di stadion, duduk di kursi penonton, bukan di tribun wartawan seperti yang selama ini saya nikmati. Sensasi duduk di bangku penonton memang berbeda, sampai-sampai seorang kawan virtual, Pangeran Siahaan berujar, “Menonton sepakbola dari bangku media itu sama seperti nonton bokep tanpa boleh bermasturbasi dan tak boleh bersuara.”

Rabu (3/11) saya membeli tiket ekonomi seharga Rp 25 ribu, demi bisa menikmati sensasi supporter dalam partai Persija menjamu Sriwijaya FC di Stadion Gelora Bung Karno, Senayan. Ini pertandingan yang menggugah libido The Jakmania –julukan lengkap pendukung tim oranye. Maklum, mereka masih dihinggapi euphoria pasca menang 3-0 atas rival abadi, Persib Bandung, akhir pekan lalu. Selain itu, usai laga ‘Macan Kemayoran’ melawan ‘Laskar Wong Kito’ ini, kompetisi Liga Super Indonesia bakal rehat dua bulan demi persiapan tim nasional dan perhelatan Piala AFF.

Fanatisme The Jak, merasa ubber alles dibanding lainnya.

Tanda pada tiket menunjukkan bahwa saya harus masuk dari Sektor 7 atau 8. Tapi, begitu masuk di dalam stadion, saya merangsek ke antara Sektor 9 sampai 13. Inilah kawasan paling atraktif saat Jakmania beraksi. Tanpa lelah terus menyanyi, berjoget, dan mengibarkan syal, mengikuti lagu-lagu yang dikomando dirijen di depan mereka. Sebagaimana lagu-lagu fans Manchester United dan Liverpool di Liga Inggris, sebagian liriknya diubah dari lagu gereja.

“Ayo The Jak, kita bergembira,

Ayo The Jak, tunjukkan aksimu…

Kita dukung Persija Jakarta, sekarang dan selamanya

Ayo The Jak, kita beratraksi…”

Bolehlah dibilang sektor 9 sampai 13 ini laksana tribun “The Kop” di Anfield Road, markas Liverpool. Atau seperti tribun di bawah papan skor Gelora 10 November, Tambaksari, tempat bonek-bonek paling nyaring bernyanyi.

Kapan ya anak ini bisa berdampingan dengan pendukung Persib?

Nonton bola memang bukan seperti menyaksikan laga tenis, yang kalau berisik sedikit langsung ditegur perangkat pertandingan. Meminjam istilah Aremania –suporter yang mengawali gerakan dan nyanyian kreatif di Indonesia- melihat laga sepakbola juga bukan laksana nonton wayang. Para pemain seperti memiliki tenaga berlipat saat pendukungnya terus bernyanyi. Tidak seperti Roy Keane, legenda Manchester United, yang bahkan mencela Old Trafford karena cuma diisi orang-orang tanpa semangat, datang ke stadion hanya untuk menonton, bertepuk tangan sambil makan cemilan atau sandwich. Keane menyebut golongan pendukung MU ini sebagai ‘Prawn Sandwich Eater ‘.

Menganggap Arema sebagai saudara, tapi tidak untuk saudara sekota.

“Sudah lama kami tidak menyanyi lagu rasis yang menghina kelompok supporter lain. Karena kalau kena hukum, nanti tim juga yang merasa akibatnya,” kata Abong, Jakmania asal Palmerah. Dari dasar hatinya, pria 16 tahun bernama asli Mohammad Abror ini berharap para pendukung tim sepakbola di Indonesia bisa berdamai. “Kami pengennya damai, tapi bagaimana dengan lainnya?” kata Abeng.

Siswa kelas 2 SMA ini hanya geleng kepala, saat saya bertanya, apa yang menjadi dasar kuat sehingga Jakmania begitu membenci Viking –pendukung Persib Bandung, dan Bonek –pendukung Persebaya Surabaya. “Enggak tahu akarnya. Susah ngejelasinnya,” kata Abeng. Terang-terang ia ingin semua supporter damai. “Biar Indonesia bersatu, karena kita kan sama-sama Indonesia, nggak boleh berantem,” ungkapnya.

Trio dirigen, Adi, Fals, Nunung, jadi komando pembakar semangat

Nyaris tak ada Jakmania yang konsen mengikuti 90 menit pertandingan. Mereka lebih fokus ke arah dirigennya, trio Adi, Fals, dan seorang cewek Nunung. Di kalangan pendukung Persija, mereka kerap menyebut teman-teman wanita sebagai ‘Jak Angels’. “Mereka anak buah gue, dari Kemayoran,” teriak Ireng, merujuk pada tiga pemimpin nyanyian itu. Ireng memakai kaos beridentitas Biang Kerok, sebutan khas Jakmania dari kampung asal komedian legendaris, Benyamin Sueb, yang kondang dengan lagu dan film ‘Biang Kerok’.

Pertandingan usai menjelang maghrib. Maklum kick-off babak pertama sempat tertunda karena lapangan becek. Jakmania tak mau rusuh meski tak ada gol tercipta. Begitu tahu ada rekan-rekannya di tribun sebelah mengungkap kekecewaan dengan melemparkan benda-benda keras ke arah lapangan, yang lain pun menegur, “Kampungan, kampungan, bikin rusuh aja…”

Alih-alih merusak, mereka melampiaskan sesal dengan meneriaki para pemain, “Ngentot lo, ayo minta maaf ke penonton…” Dari tengah lapangan, Aliyudin, Hendro Kartiko dan 9 pemain lain bergandeng-tangan, lalu merunduk, memberi hormat kepada 25 ribu Jakmania.

Situasi menyenangkan juga diterima puluhan Singamania, kelompok pendukung Sriwijaya FC yang datang dari Palembang, Jabodetabek, serta Yogyakarta. Tak ada sejarah buruk permusuhan kedua kubu, mereka dapat pulang dengan tenang, diiringi lagu perpisahan,

“Selamat jalan, Singamania…

dari kami, Jakmania…”

Stadion selayaknya menjadi tempat rekreasi, bukan untuk bikin rusuh.

Leave a Reply

Your email address will not be published.