Sudah lama jemaah Gelora Bung Karno tak pulang dengan muka gembira.
Telah lama saya tak menyaksikan wajah-wajah sukacita keluar dari Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta. Beberapa tahun terakhir, pencinta sepakbola Indonesia kerap pulang dengan caci-maki dan gerutuan kesal. Usai keok dari Korea 0-1 di Piala Asia 2007, saya menyaksikan keributan antar pendukung tim Garuda di luar pelataran Senayan Trade Centre. Tentu, situasi emosional dan gampang naik darah usai nonton bola tak bisa lepas dari hasil buruk tim kesayangan di lapangan.
Tapi, kali ini suasana berubah. Tiga laga penyisihan Grup A Piala Suzuki AFF 2010 dilahap dengan kemenangan tuan rumah. Markus Harison dan kawan-kawan mengganyang Malaysia 5-1, membantai Laos 6-0, dan melunasi hutang ke Thailand 2-1. Akun twitter resmi panitia mengumumkan, saat partai melawan Thailand, stadion yang dijuluki “katedral”-nya penggemar bola nusantara ini dihadiri 65 ribu penonton, jauh lebih banyak dari partai menjamu Malaysia (30 ribu) dan Laos (45 ribu). Memang, 65 ribu masih jauh dari kapasitas stadion yang dibangun menjelang Asian Games 1962 ini, Tapi istilah “full house” tetap layak disematkan, karena memang sejumlah itulah karcis yang dijual panitia pada pertandingan pamungkas Grup A ini.
“Jarang sekali kita menyaksikan kegembiraan pencinta bola yang berbondong-bondong ke stadion seperti ini. Momentum ini harus terus dijaga oleh pengurus PSSI, jangan malah dibawa ke arena politik,” kata anggota Komisi X DPR RI Tubagus Dedi Gumelar.
Ya, sepakbola telah menjadi hiburan dan tontonan keluarga menarik, termasuk dari kalangan jet-set. Politisi PDI Perjuangan yang sebelumnya dikenal sebagai pelawak ‘Mi’ing Bagito’ itu bukan satu-satunya pesohor yang saya jumpai di muka pintu masuk VVIP. Beberapa kru infotainmen mengantre seleb-seleb lain.
Ada artis Vanessa Angel, Desta Club Eighties, dan Rico Ceper.
Dari dunia bola, tampak kapten timnas futsal Vernard Hutabarat, pelatih Persipura Jacksen Tiago, dan mantan pemain timnas asal Papua Rully Nerre. Aneka komentar mereka luapkan, mulai soal harapan pada timnas, kegandrungan pada bintang baru Irfan Bachdim, fenomena pemain naturalisasi, sampai ide memakai batik saat laga Indonesia berlangsung. Namanya juga infotemen…
Ada selebriti bola lain yang saya incar di pertandingan ini. Dialah Bryan Robson, legenda timnas Inggris Manchester United yang kini melatih Thailand dan menjadi tumbal pesta-pora kemenangan Indonesia. Usai menangani Bradford City, West Bromwich Albion, dan Sheffield United, mantan jenderal lapangan berjuluk ‘Captain Marvel’ ini memanggul beban berat membawa Thailand ke pentas dunia.
“Kami kurang beruntung. Ada pemain Thailand dilanggar, tak dapat penalti. Sebaliknya, Indonesia mendapat dua gol dari titik putih,” kata anak dari Brian Robson, seorang sopir truk jarak-jauh itu. Seusai laga dengan waktu tambahan 4 menit itu, Robson dan pemain Thailand sempat ribut dengan Sato Ryuji, wasit asal Jepang yang mereka nilai berat sebelah.
Pria 53 tahun bergelar Order of British Empire itu baru saja mengantar Thailand masuk 8 besar Asian Games Guangzhou, dari target utama tembus semifinal. Gagal memenuhi target Asian Games, kini Robbo kembali gagal, di level Asia Tenggara pula. “Saya masih berpikir karir kepelatihan saya tak bermasalah,” katanya, menjawab pertanyaan seorang wartawati di jumpa pers mengenai spekulasi masa depannya di negeri Siam.
Bagi sebagian orang sepakbola telah menjadi semacam agama. Maka, pesta kemenangan Indonesia layaknya jemaah yang menyelesaikan ibadah dengan rasa puas usai disiram kotbah pemuas dahaga spiritual. Tapi, selain ada yang senang, ada juga yang tersedak kecewa. Dan, ada pula yang sekadar hadir “titip absen” beribadah, sebagaimana para selebritas yang mendadak keranjingan bola itu.
Inilah sepakbola. Inilah kehidupan. Filosofis demi filosofis lahir dari salah-satu olahraga tertua yang paling banyak diminati penduduk bumi ini. Alih-alih buat berpolitik, mari laksanakan ibadah bola sebaik-baiknya, untuk menunjang kehidupan sebenarnya di luar tempat sembahyang kita.