Serangkaian acara yang digelar Goethe-Institut didemo kelompok sayap kanan. Di antara even yang ditentang itu terdapat pertunjukan teater boneka.
Selasa (18/1) kemarin, mendadak saya mengubah jadwal harian yang tertera di buku agenda. Rencana menghadiri rapat mingguan pengurus AJI Jakarta berganti dengan ajakan kencan: nonton “Papermoon Puppet Theatre” di GoetheHaus, kawasan Menteng. Yang terbayang tentu yang senang-senang: menyaksikan pertunjukan lucu, duduk berdua bersama pasangan, dan ketawa-ketiwi bertemu teman lama.
Tapi apa yang terjadi? Seperti diberitakan Tempo Interaktif, sejak siang hari, suhu pusat kebudayaan Jerman di Jakarta itu sudah memanas. Kelompok garis keras Islam menuntut pembubaran serangkaian acara konferensi “Indonesia & The World 1959-1969: a Critical Decade” yang diklaim sebagai propaganda komunisme. Teater boneka itu sendiri termasuk sebagai program pendukung konferensi, antara lain karena tema ceritanya menyinggung kehidupan tahanan politik dan suasana pasca Tragedi September 1965 di Indonesia.
“Mau ke mana?” tanya petugas di pelataran GotheHaus. Tak biasanya, saat ada even, pagar gedung justru ditutup dan dijaga ketat.
“Mau nonton Papermoon,” jawabku dari balik pagar.
“Punya undangan?” balasnya lagi.
“Ehmmm, anu Pak… yang punya Papermoon itu teman saya. Dan saya juga wartawan,” sahutku lagi. Maria Tri Sulistyani -nama facebooknya Ria Papermoon- lama bersahabat dengan isteri saya, Celi, sebagai sesama mahasiswi Fisipol UGM. Saat saya dan Celi menikah lima tahun silam, Ria menghadiahi kami ilustrasi nan unik untuk ditempel di buku ibadah perkawinan.
Memulai pekerjaan sebagai ilustrator dan penulis, Ria mendirikan Papermoon Puppet Theatre pada 2006 dan kini dibesarkan bersama suaminya, Iwan Effendi. Mereka telah menggelar pementasan dan workshop di Papua, Sumatera Barat, Singapura, Malaysia, Korea, sampai menjelajah kota-kota di negeri Abang Sam.
“Ah, di sini banyak yang mengaku teman. Kami hanya menjaga keamanan saja. Bisa lihat ID Pers dan KTP nya?” tanya Satpam itu lagi.
Busyet, nonton teater saja sampai segini rumitnya. Kukeluarkan kartu wartawan dan KTP keluaran Kelurahan Rawasari, Jakarta Pusat.
“O, dari Istana ya?” kata sang Satpam sambil membukakan pintu gerbang. Ia tak pernah tahu, kartu wartawan kepresidenan itu sudah kadaluwarsa hampir sebulan berselang.
Dari dalam teras Goethe, terlihat karton-karton yang dibawa pengunjuk rasa belum diturunkan. Sebagian berbunyi, “PKI Berlumur Darah”, “PKI Pembantai Umat Islam”, “PKI Anti Tuhan”, dan “Hancurkan Paham Komunisme”.
Dwidjo Utomo Maksum, wartawan Tempo yang juga berniat menyaksikan pertunjukan Papermoon berujar, para pendemo itu tak tahu apa yang sebenarnya mereka suarakan. “Sebagian menyatakan acara boleh berlangsung asal mereka diberi kesempatan bersuara. Sebagian lagi, kaum yang lebih muda, ngotot agar konferensi dan rangkaiannya batal sama sekali,” papar Dwidjo.
Berkali-kali suara pengunjukrasa mendiskreditkan Tempo. Dwidjo pun mengutarakan sebuah pertanyaan. “Kok kalian seperti antipati pada Tempo?” Mereka menjawab, “Bukan Tempo Majalah, tapi Tempo Institute.” Sang penanya tertawa dalam hati.
Selain Goethe, konferensi ini memang didukung Tempo Institute, Friedrich-Ebert-Stiftung, Serrum, ruang rupa, Pusdep Sanata Dharma, dan Histroia Online. Tempo Institute sendiri merupakan organisasi nirlaba, independen, yang didirikan sejak tahun 2003 dan bernaung di bawah payung organisasi Yayasan 21 Juni 1994. Bidang kegiatannya antara lain pengembangan kapasitas sumber daya manusia dalam bidang penulisan, jurnalistik, desain, dan pengelolaan media. Dipimpin wartawan senior Majalah Tempo Mardiyah Chamim sebagai direktur, Tempo Institute menyumbang berbagai materi pameran, termasuk cerita dan komik sebagai bagian terbitan khusus Majalah Tempo mengenai tokoh-tokoh di seputar peristiwa 1965, seperti edisi D.N. Aidit, dan Sjam Kamaruzaman.
Usai dialog itu, semua agenda tetap berlangsung, meski pengamanan berlangsung amat ketat. Asisten Bagian Acara Budaya Goethe-Institut Dinyah Latuconsina menyatakan jadwal dan materi acara sama sekali tak berubah. “Selama demonya tidak anarkis, ya silahkan saja,” kata Dinyah.
Ia memaparkan, konsep konferensi internasional yang menyangkut tahun 1965 ini sebenarnya bertujuan agar masyarakat Indonesia dapat mengelola masa lalu dengan lebih baik. “Di acaranya sendiri, sama sekali tak ada kata-kata komunis. Bahkan rentang waktu itu tak hanya bicara peristiwa 1965 di Indonesia. Di sini dipaparkan situasi di China, Soviet, Jerman, dan lain-lain, yang kemudian berdampak ke tanah air,” jelasnya.
Selain pentas boneka, rangkaian konferensi diisi dengan peluncuran buku Economists with Guns, pameran komik dan instalasi, teater tari, Kompetisi Esai: Menyembuhkan Luka Sejarah dan diskusi Indonesia dalam Permainan Kekuatan Perang Dingin.
Duh, sampai lupa cerita tentang pentas Papermoonnya sendiri. Pertunjukannya berlangsung sekitar sejam, mengambil judul “Mwathirika”, dengan melibatkan 13 personel manusia dan beberapa boneka. “Mwathirika itu dari bahasa Swahili, sebuah negeri di Afrika Timur, artinya korban, victim,” kata Iwan Effendi. Sengaja ia tak mengambil bahasa yang bisa dimengerti maknanya dengan mudah, karena tak ingin cerita di teater ini diasosiasikan dengan peristiwa tertentu.
Bicara tentang korban, pasangan pendiri Papermoon memang berlatarbelakang korban. Ria anak pensiunan Letnan Kolonel TNI AU sementara Iwan cucu seorang dalang yang menjadi tahanan politik selama 13 tahun setelah peristiwa September 1965. Tak heran, jika beberapa adegan Mwathirika seperti menggambarkan kisah orang-orang yang berada di penjara dan juga pembuangan.
Cerita dimulai dengan dua bersaudara Moyo dan Tupu, kakak beradik yang dibesarkan oleh ayah mereka, Baba. Baba adalah pria pekerja keras bertangan satu. Mereka keluarga harmonis yang bertetangga dengan Haki, ayah dari seorang anak perempuan Lacuna yang selalu duduk di kursi roda. Mereka tetangga yang rukun meskipun tinggal “berseberangan”.
Kehidupan harmonis mereka mendadak mengalami perubahan drastis sejak terjadi konflik besar di antara para penguasa, kelompok yang sesungguhnya tidak mereka pahami benar. Perubahan itu terjadi hanya karena sebuah gambar segitiga di pintu rumah dan sebuah pluit kecil berwarna merah.
Tetap saja, memahami makna sebuah pentas teater itu tak mudah. Kecuali kita kagum pada keindahan dekorasi Papermoon, tata panggung, lighting, potongan-potongan film dan juga boneka yang lucu-lucu. Pentas teater selalu menawarkan persepsi yang beragam. Kalau mau yang seragam dan gampang ditelan, nonton saja film Indonesia, atau bahkan sinetron.
Tanpa membaca sinopsis cerita tadi, saya pun tak paham apa yang sebenarnya dipertunjukkan dalam Mwathirika. Ini tak ubahnya kalau Anda mencerna lima serial kartun dalam koran Kompas edisi Minggu. Kalau disuruh memilih mana yang paling susah dicerna di antara Panji Koming, Timun, Mice Cartoon, Sukribo, atau Konpopilan, pasti jawabannya yang terakhir. Maka, kalau Anda bisa memahami makna kisah lelaki penggembala dan polah-tingkah binatang dalam Konpopilan, saya jamin Anda bisa mengerti apa makna tersirat yang dipertontonkan sebuah teater macam Papermoon ini.
Toh demikian, entah mengerti atau hanya pura-pura mengerti cerita yang dimaksud, banyak penonton spontan melakukan “standing ovation” begitu pertunjukan selesai. Ada banyak nama terkenal duduk di antara 400 penonton. Ya wartawan, seniman, sejarawan, aktivis, dan juga bule-bule undangan. Mayoritas antusias melempar applausnya usai Ria menyampaikan kata penutup pementasan Mwathirika.
Saya pun beranjak pulang, dengan tetap tak mengerti, sebenarnya apa sih yang perlu ditentang dari rangkaian acara ini…
Jojo Raharjo
* tulisan ini juga dimuat di www.mediaindependen.com