Tiga wartawan peliput konflik berbagi kisah. Ada yang lucu, tapi banyak juga yang membuat kita mengelus dada.
Bagi manusia, hidup dan mati kadang hanya berbeda seujung kuku. Pengalaman itu nyata dirasakan Qaris Tajudin dan Arie Basuki, dua jurnalis Tempo yang baru-baru ini meliput krisis politik Libya.
Dalam salah satu harinya di Libya, siang itu, Qaris dan Arie Basuki sempat pusing karena Muhammad, sopir sewaan mereka, kembali datang terlambat. Padahal saat itu Qaris dan Arbas –sapaan akrab jurnalis foto yang kenyang pengalaman meliput di berbagai medan itu- berencana kembali pergi ke Ajdabiya, kota di sebelah barat Benghazi, Libya. Berdua mereka hendak melihat-sekali lagi-penyerbuan ke Brega, 50 kilometer sebelah barat Ajdabiya. Sudah berhari-hari kota minyak itu dikepung gerilyawan anti-Muammar Qadhafi, tapi tak ada kemajuan.
Ajdabiya, Brega, Sirte, Misrata, serta semua kota lain yang berada di antara Tripoli dan Benghazi selalu jadi rebutan pasukan Qadhafi dan pemberontak. Mereka berkonsentrasi pada kota-kota di sepanjang pantai Mediterania itu dan melupakan kota-kota gurun di selatan. Kemenangan atau kekalahan dalam perang saudara ini ditentukan oleh penaklukan kota-kota tersebut. Semakin banyak kota di Libya utara yang dapat dikuasai pemerintah, semakin dekat waktu kehancuran pemberontak. Demikian pula sebaliknya.
Keterlambatan Muhammad tentu mengacaukan rencana menyaksikan momen penting itu. Ini bukan pertama kalinya ia terlambat. Tapi tim Tempo tak punya pilihan. Muhammad menawarkan sewa mobil-Mercedes Vito lusuh dengan kaca depan retak-yang amat murah. Yang lebih penting, dia adalah sopir tersinting yang pernah mereka jumpai. Ketika para sopir mobil sewaan lain enggan maju ke garis depan, Muhammad malah harus direm sedikit agar tak kebablasan. “Sudah dua kali dia terbukti berani mengantar kami ke garis terdepan pertempuran,” kisah Qaris, sebagaimana juga dimuat di Majalah Tempo.
Pukul sepuluh lebih, Muhammad datang dan cengengesan. Matanya yang berwarna abu-abu itu masih sembap. Jelas, dia baru bangun tidur. Setelah berputar-putar Benghazi untuk membeli beberapa keperluan, mereka keluar dari “ibu kota” pemberontakan itu menjelang zuhur. Dengan kecepatan 120 kilometer per jam, mereka berharap tidak terlambat sampai di gerbang barat Ajdabiya. Berdasarkan pengalaman, pasukan pemberontak bergerak saat zuhur. Qaris dan Arbas sadar, mereka tak boleh kehilangan huru-hara penuh drama itu.
Tapi hari ini ada yang aneh. Jalur menuju Ajdabiya amat lengang. Tak ada truk dan pickup pemberontak yang ke Ajdabiya. Sebaliknya, jalur menuju Benghazi malah ramai oleh mobil-termasuk milik gerilyawan. Mereka seperti terburu-buru meninggalkan Ajdabiya.
“Ajdabiya sudah jatuh,” kata seorang gerilyawan berjanggut dengan setelan training Adidas biru tua. “Pasukan Qadhafi datang dari dua arah: dari Brega mereka menguasai gerbang barat dan yang masuk lewat selatan menguasai gerbang timur.” Pasukan pemberontak yang berangkat terlalu pagi terjepit di tengah. Mereka digempur dari dua sisi. Sebuah restoran dan rumah sakit dibom. Enam orang gerilyawan tewas di sana. Qaris pun tiba-tiba susah menelan ludah: seandainya tadi Muhammad tidak terlambat bangun, mereka mungkin juga terjepit di tengah neraka pertempuran tak seimbang itu.
Kisah-kisah wartawan peliput perang menjadi santapan para wartawan dalam memperingati Hari Kebebasan Pers Internasional (World Press Freedom Day) yang jatuh setiap 3 Mei. Selain mengundang Qaris dan Arbas, Selasa (3/5) Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta juga mendatangkan Andi Riccardi Jatmiko, kepala biro Associated Pers Television News (APTN) Jakarta.
Andi Riccardi, yang curriculum vitaenya penuh dengan riwayat penugasan di daerah berbahaya menekankan agar jurnalis tidak menyepelekan keselamatan diri sendiri saat liputan. “Sedahsyat apapun liputan kita, kalau ujungnya mengorbankan nyawa, tetap akan sia-sia,” kata pria yang dua tahun lalu menjadi berita karena patah tulang rusuk dan kakinya terluka akibat serangan bom Taliban di Afghanistan.
Dalam usia 46 tahun, Andi telah melanglang hampir ke semua medan konflik di dalam dan luar negeri. Mulai Ambon, Sambas, Dili, Afghan, Irak, Persia, Indo China sampai Lebanon. “Saya iri, sekaligus mendambakan agar profesi jurnalis dihargai sebagaimana perlakuan yang diterima anggota Palang Merah,” katanya.
Berbicara tentang lemahnya asuransi perlindungan jurnalis peliput konflik, kisah Andi membuat awak media Indonesia mesti mengelus dada. “Asuransi itu sangat mahal, sehingga jarang sekali media yang mau memenuhinya,” ungkapnya. Nilai asuransi bisa mencapai 50 ribu Dolar AS per orang untuk sekali peliputan, karena yang di-cover biasanya sedikit orang, dengan masa perlindungan tak terlampau lama (sekitar sebulan untuk setiap kali perjalanan liputan).
Di sinilah ia menekankan pentingnya keberanian dan kebulatan tekad bagi jurnalis yang hendak meliput situasi konflik. “Kalau ragu-ragu, mending jangan berangkat,” pesan Andi, yang malam itu menandatangani formulir pendaftaran sebagai anggota AJI Jakarta.
Diskusi itu juga menceritakan kisah-kisah konyol yang diperbuat mereka. Arbas misalnya, nyaris mengalami penculikan di Libya gara-gara mengantar produser TV One meninggalkan medan pertempuran untuk buang air kecil ke hotel. Sementara Andi membuat koleganya dari negara lain dipenjara gara-gara salah menukar baterei kamera di Myanmar.
Selain itu, Andi juga menyimpulkan bahwa rate harga karya jurnalistik di Indonesia paling murah bila dibandingkan standar negara-negara lain di dunia. Ia menegaskan pentingnya solidaritas untuk mengubah standar itu. “Karenanya, kita harus bersatu dalam menentukan posisi tawar jurnalis agar lebih dihargai,” kata Andi.
Jojo Raharjo