Bebaskan buruh dari penjara larangan berserikat

Demo May Day 2011 menuju Istana. Wartawan juga buruh, lho.

Setiap peringatan Hari Buruh atau May Day, AJI selalu tampil nyentrik. Kali ini instalasi serupa penjara menjadi pilihannya.

Adalah Peter McGuire, seorang pekerja mesin dari Paterson, New Jersey yang awalnya dikenal sebagai buruh pemberontak. Pada tahun 1872, McGuire dan 100.000 pekerja melakukan aksi mogok untuk menuntut mengurangan jam kerja, dari ketentuan bekerja 19-20 jam sehari. McGuire lalu dengan berbicara dengan para pekerja dan para pengangguran, melobi pemerintah kota untuk menyediakan pekerjaan dan uang lembur. McGuire menjadi terkenal dengan sebutan “pengganggu ketenangan masyarakat”.

Karena perjuangan ini, 1 Mei ditetapkan sebagai hari perjuangan kelas pekerja dunia pada Konggres 1886 oleh Federation of Organized Trades and Labor Unions untuk, selain memberikan momen tuntutan delapan jam kerja sehari, memberikan semangat baru perjuangan kelas pekerja yang mencapai titik masif di era tersebut. Tanggal 1 Mei dipilih karena terinspirasi oleh kesuksesan aksi buruh di Kanada 1872, menuntut delapan jam kerja di Amerika Serikat yang kemudian diberlakukan mulai 1 Mei 1886.

Maka, di banyak negara, 1 Mei pun menjadi momen monumental untuk diperingati. Tak terkecuali di Indonesia. Para jurnalis pun, yang tak lagi malu mengaku buruh, turun ke jalan memperjuangkan hak mereka. Kalau pada 2008 Aliansi Jurnalis Independen (AJI) membawa atraksi bola dunia dan pada tahun lalu mengusung simbolisasi perahu raksasa, kali ini AJI menggotong penjara ke arena aksi. Maknanya masih sama, menggulirkan semangat berorganisasi atau berserikat bagi para buruh untuk memperjuangkan haknya. Para buruh, termasuk jurnalis, harus segera dilepaskan dari kerangkeng larangan berorganisasi, yang dapat membuat posisi tawar pekerja menjadi lebih baik dalam menuntut kesejahteraan yang lebih baik.

“Problem krusial  yang dihadapi jurnalis Indonesia adalah rendahnya kesejahteraan,” kata Ketua Umum AJI Indonesia Nezar Patria. Survei AJI di 16 kota masih menemukan fakta yang sangat memprihatinkan. Ditemukan, masih ada media yang menggaji jurnalisnya di bawah angka Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK)—bahkan ada media yang tidak memberikan gaji sama sekali. Media semacam ini umumnya menyuruh jurnalisnya untuk mencari ”gaji”-nya sendiri dengan berbagai macam cara, mulai mencari iklan, menjadi tenaga pemasaran, hingga menghalalkan untuk menerima pemberian atau imbalan dari narasumber.

Aksi jurnalis memperingati May Day di Medan Merdeka Barat. Selalu ada inovasi baru.

“Padahal menurut  Undang-Undang No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 185, perusahaan yang menggaji pekerjanya di bawah nilai UMK, dapat dikenakan sanksi denda minimal Rp 100 juta dan maksimal Rp 400 juta dan atau sanksi pidana penjara minimal 1 tahun penjara dan maksimal 4 tahun penjara,” tegas Nezar.

Ketua AJI Jakarta Wahyu Dhyatmika menekankan, aksi memperingati May Day hanyalah simbolisasi perjuangan. “Kerja-kerja mendukung kesejahteraan jurnalis berlangsung sepanjang tahun. Mengadvokasi mereka yang ter-PHK, dan mendukung terbentuknya serikat pekerja pers di banyak media,” katanya.

Leave a Reply

Your email address will not be published.